Dawam Rahardjo, Wafatnya Voltaire van Solo

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 31 Mei 2018 | 13:36 WIB
Dawam Rahardjo, Wafatnya Voltaire van Solo
Dawam Rahardjo [Facebook/Dawam Rahardjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Voltaire van Solo, begitulah Dawam Rahardjo mendapat julukan dari sohibnya, Hamid. Sama seperti François-Marie Arouet, ia bakal membela kaum yang dipersekusi atau ditindas, meski tak sependapat dengan kaum itu sendiri. Rabu kemarin, Voltaire dari Solo itu  telah pergi.

Suatu siang pada akhir tahun 1994, Hamid Basyaib menerima telepon di kantor harian Republika. Orang di ujung telepon itu adalah Dawam Rahardjo. Mereka sama-sama bekerja di harian tersebut kala itu.

“Dawam bilang, ia sudah mendengar kontroversi yang melibatkan saya, dan bahwa saya akan diskors atau dipecat dari koran itu. Ia sudah bicara dengan Pak Habibie supaya terhadap saya tidak perlu ada tindakan disipliner dan sejenisnya,” kenang Hamid mengenai Dawam yang ditulis dan disebar melalui Facebook, saat mengetahui rekannya itu meninggal dunia, Kamis (31/5/2018).

Dawam lantas menyatakan maksudnya menelepon Hamid. Ia ingin minta penjelasan tentang tulisan Hamid yang menjadi sumber protes sejumlah ormas Islam itu.

Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Ratusan Kader PDIP Serang Kantor Radar Bogor

"Apa sih isinya? Saya belum baca," kata Dawam, "Tapi saya tidak setuju dengan tindakan apa pun terhadap diri Anda! Saya perlu tahu detail kontroversi ini. Bisa nggak Anda ceritakan isi tulisan itu?"

Hamid lantas menjelaskan, inti artikel yang dibuatnya itu menyebut Nike Ardilla—penyanyi beken pada era 1990-an—sebagai contoh anak muda yang kaki kirinya masih di wilayah tradisionalisme/religius, sementara kaki kanannya mulai menapak di modernisme berkat popularitas yang tiba-tiba dinikmatinya sebagai penyanyi belia.

“Ambiguitas itu terlihat dari fakta bahwa di mobil yang dikendarainya (Nike), ia membawa mukena dan sajadah; dan malam itu ia pulang pukul 11 malam dari sebuah diskotik, dan mobil mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan kematiannya,” terangnya.

Dawam memuji otentisitas artikel Hamid. Menurut Dawam, kata Hamid, penjelasan dirinya dalam artikel itu memakai metodologi sosiologis yang sangat baik.

“Sementara Inti protes ormas Islam adalah, tulisan itu seolah-olah menyatakan bahwa Tuhan tidur; padahal Dia tak pernah tidur, dan seterusnya. Lalu wakil-wakil dari 18 ormas Islam mendatangi kantor Republika,” kenangnya.

Baca Juga: Luis Milla Belum Tentukan Skuat Inti Asian Games, Kenapa?

Perwakilan ormas-ormas itu diterima untuk berdialog dengan Dewan Redaksi Republika, termasuk Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Quraish Shihab, Soetjipto Wirosardjono dan beberapa orang lain. Dialog berlangsung cukup panas. Hamid sendiri tidak boleh hadir.

Mereka juga memprotes Ihsan Ali-Fauzi, yang menurunkan tulisan bernada pujian kepada Ahmad Wahib dan catatan hariannya yang mashur, 'Pergolakan Pemikiran Islam."

Pada akhir 1994 itu, Dawam juga berkata melalui telepon: "Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi hak Anda untuk mengungkapkan pendapat itu akan saya bela sampai mati."

Perkataan terkenal “Voltaire”—nom de plume (nama pena) François-Marie Arouet—ternyata tak sekadar jargon bagi Dawam, tapi diamalkannya.

“Saya dengar ia melobi beberapa orang dekat Pak Habibie, bahkan menyempatkan diri membahas kasus itu kepada BJH sewaktu ia ikut rombongan BJH ke Jerman. Saya tidak jadi dipecat. Tidak perlu pula harus menulis surat pengunduran diri seperti salah satu opsi semula. Saya hanya diskors beberapa bulan; kalaupun menulis, nama saya tidak boleh muncul. Sebab urusannya sudah diambil alih Dirjen PPG Subrata, atas perintah Menteri Penerangan Harmoko,” tulis Hamid yang pernah menjadi koordinator Jaringan Islam Liberal.

“Saya diselamatkan oleh Monsieur Voltaire, yang kali ini berbentuk seorang pemikir ekonomi besar yang tekun, jujur dan berkomitmen penuh terhadap apa saja yang baik bagi Indonesia.”

Selang 10 tahun, diktum Voltaire yang teguh dipegang oleh Dawam itu pula menyebabkan Hamid bertengkar dengannya.

Tahun 2004, Lia Aminuddin dan kelompok keagamaannya dikecam banyak pihak. Dawam membela Lia dan para pengikutnya.

Dawam, kata Hamid, membela posisi Lia dengan alasan Lia hanya mengutip ayat Al Quran. Namun, Hamid berkeberatan, sebab menurutnya, Lia juga menindas pengikutnya, termasuk yang masih kanak-kanak.

“Mas Dawam menggebrak meja dan berdiri dari kursinya karena sangat keberatan dengan sikap saya. Semua peserta rapat terdiam. Dalam diam, saya bertekad di batin: Saya tidak akan melawan senior yang sangat saya hormati itu, sambil tak selamanya akan bersepakat dengannya,” tutur Hamid.

Dipecat Sekaligus Dikagumi Muhammadiyah

Sikap keras Dawam untuk membela kaum minoritas keagamaan, etnis, maupun kelompok politik tertentu itu, memunyai konsekuensi logis. Ia dipecat dari keanggotaan Muhammadyah pada tahun 2006.

Pemecatan itu erat terkait sikap Dawam yang membela jemaah Ahmadiyah. Sementara Muhammadiyah memunyai penilaian sendiri mengenai jemaah tersebut.

Namun, sifat Dawam yang keras kepala untuk membela kaum minoritas itu juga mendapat ganjaran berupa penghargaan HAM Yap Thiam Hien pada tahun 2013.

Walau dipecat, Muhammadiyah tetap mengagumi persona dan pemikian Dawam.

"Pak Dawam adalah intelektual dan aktivis Muslim yang progresif," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Rabu, seperti diberitakan Antara.

Sosialisme Religius

Selain membela kaum minoritas, Dawam juga dikenal sebagai pemikir ekonomi-politik progresif di Indonesia. Ia gemar mengkritik kapitalisme dan mempromosikan demokrasi koperasi. Ia juga mampu menjelaskan konsep Sosialisme Religius yang dianggapnya bisa menjadi solusi.

"Dawam Rahardjo adalah sosok yang mengusung bahwa demokrasi ekonomi itu manifestasinya ya koperasi," kata Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto di Jakarta, Kamis.

Para penggerak ekonomi koperasi, kata Suroto, kehilangan sosok penganut konsep koperasi sebagai adalah konsep post-kapitalisme dan post-revolusioner.

"Bahkan beliau begitu yakin abad 21 ini harusnya menjadi abad koperasi," katanya.

Dawam yang pernah menulis soal aliran-aliran pemikiran pembangunan koperasi di Indonesia itu dianggap Suroto sebagai seorang penguji pemikiran sekaligus pemikir demokrasi ekonomi yang terang.

"Benang merah pemikirannya tentang demokrasi ekonomi sangat tegas. Beliau juga adalah sedikit dari ekonom yang mau menggali pemikiran konsep ekonomi dengan dasar pijak ilmiah dan kontekstual dengan persoalan bangsa," katanya.

Dawam Rahardjo menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Rabu malam sekitar pukul 21.55 WIB karena sakit.

Ekonom, budayawan, pengusaha, cendekiawan, aktivis LSM, pemikir Islam, sekaligus penafsir tersebut diketahui beberapa kali menjalani perawatan intensif di rumah sakit lantaran komplikasi penyakit yang dideritanya; diabetes, gangguan jantung, dan stroke.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI