Suara.com - Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mendukung pihak yang berwajib untuk mengenakan sanksi dan efek jera terberat bagi pengembus isu bom di penerbangan. Sanksi ini berlaku baik di sisi darat, seperti di bandara, tower ATC, dan peralatan penerbangan, juga di sisi udara, seperti di dalam pesawat terbang.
Selain membahayakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan penumpang, isu terkait bom dalam penerbangan juga memberikan dampak psikologis mendalam, dan di beberapa kejadian, membuat kerugian materiil yang besar pada maskapai dan penumpang lain.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Agus Santoso, pihaknya mendukung pihak berwajib untuk mengenakan hukuman pidana dan perdata, baik dengan UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, KUHP, KUHAP maupun aturan lain, seperti UU Terorisme yang sudah disahkan.
Ditjen Perhubungan Udara sendiri menyatakan akan memberikan efek jera, misalnya dengan melakukan black list dan pelarangan terbang atau mendekati fasilitas penerbangan bagi orang yang mengembuskan isu bom.
"Isu bom sudah sangat meresahkan, karena dampaknya bukan hanya psikologis, tapi juga material yang tidak sedikit bagi maskapai dan penumpang. Dampak yang lebih luas lagi, terkait persepsi masyarakat internasional terhadap penerbangan Indonesia. Kami mendukung pihak berwajib untuk memberikan efek jera berupa efek pidana kepada yang bersangkutan dan mengajak semua stakeholder dan masyarakat luas untuk menyebarluaskan berita pemberian sanksi tersebut sehingga ada efek jera di masyarakat," ujar Agus.
Kegeraman Agus ini terkait maraknya isu bom di penerbangan Tanah Air akhir-akhir ini. Berita terbaru datang dari Pontianak pada 28 Mei 2018, pukul 18.50 WIB, di mana seorang penumpang pesawat B737-800 NG PK- LOJ yang dioperasikan Lion Air, dengan nomor penerbangan JT 687 menyatakan membawa bom.
Akibat ketakutan, salah seorang penumpang yang lain membuka paksa jendela darurat (emergency exit window) sebelah kanan. Penumpang kemudian berhamburan keluar lewat jendela darurat dan memaksa turun dari sayap pesawat, walaupun mesin pesawat sudah dinyalakan di apron.
"Tindakan penumpang yang memaksa turun ini, tentu saja berbahaya, karena bisa tersedot ke mesin pesawat yang menyala. Selain itu, kerugian materiil maskapai akibat rusaknya jendela darurat pesawat merncapai miliaran rupiah. Orang pertama yang menyebabkan insiden itu atau pengembus isu bom, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai hukum yang berlaku," lanjut Agus.
Di sisi lain, Agus juga kembali mengingatkan semua stakeholder penerbangan untuk terus bekerja sama meningkatkan keamanan penerbangan sesuai prosedur standar masing-masing, yang diturunkan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 80 tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional dan Annex 17 tentang Aviation Security dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Bagi para penumpang, Agus mengimbau untuk tetap mematuhi perintah awak kabin pesawat terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam pesawat. Awak kabin merupakan personel penerbangan terlatih, yang mendapatkan sertifikat khusus dari Ditjen Perhubungan Udara untuk dapat menjalankan standar prosedur operasional penerbangan.
Terkait isu bom, pada pasal 437 UU Penerbangan, disebutkan, semua yang terkait informasi bom, baik sungguhan atau bohong, merupakan tindakan melanggar hukum dan akan diproses, serta ada sanksi tegas dari pihak berwajib.
Ayat (1) pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun".
Pada ayat (2) dan (3) dinyatakan, "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, dan bila mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun".
Pasal tersebut bukan delik aduan, sehingga polisi bisa langsung menindaklanjutinya jika terjadi peristiwa terkait isu bom di penerbangan.