Suara.com - Bagi masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah, Merapi adalah teman hidup. Bagi sebagian orang, sejak 1548 hingga 2014, mereka mati karena letupan Merapi. Tapi sesudahnya, gunung api itulah yang menyediakan wahana hidup untuk anak cucu mereka.
Sejarah Gunung Merapi adalah riwayat tentang letusan. Dalam kurun waktu sejak 1548 sampai 2014, gunung yang berlokasi di bagian tengah Pulau Jawa ini sudah 71 kali erupsi. Beberapa letusan punya daya rusak yang mematikan.
Naskah kuno memaknai peristiwa-peristiwa itu sebagai kemurkaan Tuhan dan pertanda datangnya huru-hara.
"Gunung Merapi menyemburkan api yang sangat dahsyat. Siang-malam bumi berguncang dan dihujani api. Kilat tak henti-hentinya menyambar. Asap dan api yang keluar dari mulut gunung bagai kain merah menyala dibentuk wiru [lipatan-lipatan pada sehelai kain], mumbul tinggi menyentuh langit. Jagat yang gelap pekat itu bagai terbakar sehingga merahnya api bagai menghias kelamnya angkasa."
Baca Juga: Gaji Megawati Jadi BPIP Rp 112 Juta, Ini Rincian Sebenarnya
"Gemeretak pepohonan yang bertumbangan tak ubahnya suara senapan yang ditembakkan. Seluruh warga desa di lereng Gunung Merapi saling tunjang berebut menyelamatkan diri. Sepanjang masa, baru kali itu Gunung Merapi memuntahkan lahar sedahsyat muntahan lumpur batu seperti pada masa peperangan Pajang melawan Mataram (1586)."
Begitulah Babad Betawi Jilid III melukiskan keganasan erupsi Gunung Merapi 1822 dengan bahasa yang sangat puitis. Babad Betawi Jilid III adalah salah satu naskah kuno milik Pura Pakulaman, yang cetakan aslinya hingga kini masih terawat baik.
Babad Betawi merupakan kisah sastra-sejarah yang menceritakan pembuangan Pangeran Natasukuma hingga kemudian mendirikan Kadipaten Pakualaman. Pangeran Natakusuma disebut-sebut sebagai anak kesayangan dari pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB I.
Kelak, Pangeran Natakusuma termasyhur dengan gelar KGPAA Paku Alam I. Karya ini ditulis dalam tiga jilid dan berbentuk tembang macapat.
Episode erupsi Gunung Merapi 1822 bisa dikatakan hanya menyempil di Babad Betawi Jilid III. Dari total halaman yang mencapai 900, letusan maut itu dijabarkan dalam delapan halaman.
Baca Juga: Nyaris Menang, Vettel Ingin Tekan Ricciardo Sampai Finish
Namun, dari halaman yang sedikit itu, dahsyatnya kekuatan Gunung Merapi bisa tergambar jelas. Pada halaman 784 disebutkan, akibat erupsi, desa-desa di lereng gunung menjadi sepi tak berpenghuni. Saat itu hujan batu berapi masih terjadi, diiringi gelegak gunung hingga bergema di angkasa.
Akibatnya, orang-orang Belanda dan Tionghoa kocar-kacir berlarian meninggalkan Bedhaya dan Magelang untuk menyelamatkan diri ke Semarang. Keadaan begitu mengharu biru. Situasi di Bedhaya dideskripsikan selayaknya menjelang kiamat; semalam suntuk hujan batu tak hentinya keluar dari puncak gunung, bersamaan dengan sambaran kilat.
Warga yang tinggal di dusun-dusun di kaki Gunung Merapi, masih dinukil dari karya yang sama, semakin miris dan kebingungan, karena beredar kabar Jumat berikutnya Jogja akan tenggelam terbanjiri lumpur dari gunung. Banyak orang yang mengungsi ke Pura Pakualaman agar bisa bertahan hidup.
Untuk diketahui, sesuai dengan karakter genre babad, teks yang memuat data sejarah dihias dan dibumbui dengan curahan hati sang penulis atau pesanan pemrakarsa penulisan naskah, sehingga bobot kemurnian fakta harus dipertimbangkan.
Letusan Besar
Mungkin, penggambaran letusan Gunung Merapi 1822 di Babad Betawi Jilid III agak berlebihan, atau mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas, sejarah mencatat pada 1822 memang terjadi erupsi besar.
Salah satu artikel tentang sejarah letusan Gunung Merapi di website Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyebut, indeks Volcano Explosivity Index (VEI) letusan 1822 ada di angka empat. Indeks VEI ini adalah skala untuk mengukur kekuatan dan besaran letusan gunung api. Skalanya 1 sampai 8. Makin besar skalanya, makin besar letusannya.
Letusan dengan indeks VEI di atas angka dua sudah masuk kategori erupsi besar. Letusan Gunung Merapi 2010 dan 1872 adalah dua letusan yang juga memiliki indeks VEI empat.
Hal ini makin dikuatkan lewat artikel berjudul Status Normal Merapi Pasca Letusan 2010 yang terbit di Geomagz, majalah geologi populer. Disebutkan, Gunung Merapi pada periode modern telah mengalami beberapa kali letusan besar, yakni di abad 19 (1822, 1849 dan 1872) dan abad 20 (1930-1931).
Erupsi abad ke-19 dikatakan sebagi letusan yang lebih besar dibanding abad ke-20, ketika awan panas meluncur sejauh 20 kilometer dari puncak.
Letusan 1822 juga dicatat oleh Kemmerling (1921), yang kemudian menjadi rujukan penelitian B. Voight dkk (2000) dalam Historical Eruption of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998.
Letusan 1822 diawali dengan penghancuran kubah lava dan membentuk kawah berdiameter 600 meter dengan bukaan ke arah Kali Apu, Blongkeng, dan Woro. Luncuran awan panas mengubur delapan desa. “Gunung diselimuti oleh aliran api,” tulis Kemmerling.
Letusan lain yang juga tercatat dalam naskah kuno adalah erupsi Gunung Merapi 1586. Informasi mengenai letusan ini terdapat dalam Babad Matawis Saha Candra Nata, yang ditulis pada masa Paku Alam II.
"Ketika itu angin yang semula semilir mendadak jadi kencang disertai halilintar menggelegar. Rintik-rintik hujan segera menjadi deras bagai dituang dari angkasa. Pepohonan pun bertumbangan tercabut dari tanah karena kencang dan derasnya hujan badai."
"Peristiwa ini disebut menandai datangnya jin, peri, dan prayangan. Sorak sorai para lelembut di angkasa disambut gelegar Gunung Merapi. Kawah merekah menyebabkan seluruh isi gunung tumpah ruah. Gunung Merapi dengan dahsyat menyemburkan abu, batu dan melelehkan lahar yang mengerikan memenuhi Sungai Opak."
“Beradunya batu dengan batu yang mengeluarkan api itu seolah menyerukan ajakan untuk menggilas pasukan Pajang yang hendak menyerbu Mataram. Atas kuasa Tuhan, amukan lahar dan muntahan batu dari Gunung Merapi telah turut membantu Kanjeng Sinuwun Senapati [Raja Pertama Kesultanan Mataram] dalam meraih kejayaannya,” demikian tertulis dalam Babad Matawis Saha Candra Nata.
Namun, untuk melacak dampak dan kekuatan letusan 1586 sungguh muskil. Musababnya, sejarah letusan Gunung Merapi yang terperinci dengan disertai kronologis baru dimulai pada akhir abad 19.
Peringatan Tuhan
Naskah-naskah kuno yang mencatat peristiwa letusan Gunung Merapi, umumnya, menilai bencana tersebut sebagai peringatan dari Tuhan agar manusia memperbaiki akhlak. Ihwal ini pernah menjadi bahan kajian pengajar di Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya UGM Sri Ratna Saktimulya dalam penelitian yang berjudul Bencana Merapi dalam Sejumlah Naskah Jawa.
Letusan Gunung Merapi juga dijadikan semacam tanda-tanda datangnya malapetaka. Di dalam Babad Ngayogya, tulis Sakti, disebutkan gelegar Gunung Merapi pada 30 Juni 1822 diikuti dengan empat gunung lainnya, yakni Bromo, Kelud, Slamet dan Guntur.
Rentetan letusan gunung ini dianggap merupakan sinyal Pulau Jawa akan terjadi huru-hara. Dalam konteks ini, kemungkinan besar adalah Perang Jawa yang melelahkan itu.
Dalam penelitiannya itu, Sakti menyatakan, sebelum terjadinya Perang Jawa, suasana di Jogja dan sekitarnya sudah tidak kondusif. Ketika itu banyak terjadi kerusuhan karena tekanan ekonomi, sosial dan politik.
Sakti, selain sebagai seorang dosen di UGM, juga merupakan abdi dalem Pura Pakualaman dengan nama Nyi Mas Tumenggung Sestrarukini. Ia ditugaskan sebagai pengelola Perpustakaan Widya Pustaka milik Pura Pakulaman.
Sebagai seorang dosen Sastra Jawa, tentu dirinya kerap kali harus bersinggungan dengan naskah-naskah kuno. Menurut dia, membaca karya-karya dari masa lalu punya banyak manfaat.
Dengan itu dirinya bisa tahu apa yang pernah terjadi di waktu lampau. Mempelajarinya dengan teliti untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan agar kesalahan yang sama tak terulang. Sebab sejarah, seperti kata pepatah latin: historia magistra vitae, adalah guru yang terbaik.
Suatu ketika, saat Sakti membaca naskah Babad Pakualaman Jilid III, ia menyadari DIY punya riwayat panjang dalam urusan bencana. Petaka yang tercatat dalam Babad Pakualaman Jilid III adalah gempa bumi besar tahun 1867, yang diperkirakan membunuh 1.000 orang.
Setelah membaca itu, ia membagikan pengetahuannya ke para mahasiswa, dengan harapan mereka jadi lebih awas. Sakti juga sempat menulis mengenai sejarah gempa DIY di Harian Bernas sebagai sebuah peringatan. “Setelah itu beberapa waktu kemudian memang benar-benar terjadi gempa tahun 2006,” ujar dia, Sabtu (26/5).
Namun sayangnya, naskah-naskah kuno milik Pura Pakualaman belum semua diterjemahkan. Beberapa naskah baru dialihaksarakan ke huruf latin. Setelah dialihaksarakan pun orang kebanyakan tak akan bisa memahami babad-babad itu, karena banyak kosakata yang tidak ditemui dalam kehidupan saat ini.
Beranjak dari itulah kemudian Paku Alam X menginginkan agar naskah-naskah milik Pura Pakualaman diterjemahkan dan didigitalisasi. Pada 2005 tim untuk misi itu telah dibentuk. Sakti adalah nakhoda dari kelompok kecil yang menamakan dirinya tim Widya Pustaka itu.
“Yang diterjemahkan baru 10 naskah, dari 251 naskah. Tujuan [dari proyek ini] adalah untuk menyebarluaskan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah milik Pura Pakualaman, karena itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan,” jelas Sakti.
Berita ini kali pertama diterbitkan Harian Jogja dengan judul "LONG-FORM: Riwayat Letusan Merapi dalam Manuskrip Kuno, Hujan Batu Tak Henti Keluar dari Gunung"