Dalam penelitiannya itu, Sakti menyatakan, sebelum terjadinya Perang Jawa, suasana di Jogja dan sekitarnya sudah tidak kondusif. Ketika itu banyak terjadi kerusuhan karena tekanan ekonomi, sosial dan politik.
Sakti, selain sebagai seorang dosen di UGM, juga merupakan abdi dalem Pura Pakualaman dengan nama Nyi Mas Tumenggung Sestrarukini. Ia ditugaskan sebagai pengelola Perpustakaan Widya Pustaka milik Pura Pakulaman.
Sebagai seorang dosen Sastra Jawa, tentu dirinya kerap kali harus bersinggungan dengan naskah-naskah kuno. Menurut dia, membaca karya-karya dari masa lalu punya banyak manfaat.
Dengan itu dirinya bisa tahu apa yang pernah terjadi di waktu lampau. Mempelajarinya dengan teliti untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan agar kesalahan yang sama tak terulang. Sebab sejarah, seperti kata pepatah latin: historia magistra vitae, adalah guru yang terbaik.
Baca Juga: Gaji Megawati Jadi BPIP Rp 112 Juta, Ini Rincian Sebenarnya
Suatu ketika, saat Sakti membaca naskah Babad Pakualaman Jilid III, ia menyadari DIY punya riwayat panjang dalam urusan bencana. Petaka yang tercatat dalam Babad Pakualaman Jilid III adalah gempa bumi besar tahun 1867, yang diperkirakan membunuh 1.000 orang.
Setelah membaca itu, ia membagikan pengetahuannya ke para mahasiswa, dengan harapan mereka jadi lebih awas. Sakti juga sempat menulis mengenai sejarah gempa DIY di Harian Bernas sebagai sebuah peringatan. “Setelah itu beberapa waktu kemudian memang benar-benar terjadi gempa tahun 2006,” ujar dia, Sabtu (26/5).
Namun sayangnya, naskah-naskah kuno milik Pura Pakualaman belum semua diterjemahkan. Beberapa naskah baru dialihaksarakan ke huruf latin. Setelah dialihaksarakan pun orang kebanyakan tak akan bisa memahami babad-babad itu, karena banyak kosakata yang tidak ditemui dalam kehidupan saat ini.
Beranjak dari itulah kemudian Paku Alam X menginginkan agar naskah-naskah milik Pura Pakualaman diterjemahkan dan didigitalisasi. Pada 2005 tim untuk misi itu telah dibentuk. Sakti adalah nakhoda dari kelompok kecil yang menamakan dirinya tim Widya Pustaka itu.
“Yang diterjemahkan baru 10 naskah, dari 251 naskah. Tujuan [dari proyek ini] adalah untuk menyebarluaskan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah milik Pura Pakualaman, karena itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan,” jelas Sakti.
Baca Juga: Nyaris Menang, Vettel Ingin Tekan Ricciardo Sampai Finish
Berita ini kali pertama diterbitkan Harian Jogja dengan judul "LONG-FORM: Riwayat Letusan Merapi dalam Manuskrip Kuno, Hujan Batu Tak Henti Keluar dari Gunung"