Suara.com - Tubuhnya tampak tua, kulitnya sudah terlihat kendor. Saat ditemui Suara.com, posisinya tengah terbaring di pengungsian Glagaharjo akibat erupsi Gunung Merapi. Sudah sejak 21 Mei 2018 ia berada di sana. Selama di sana, ia hanya bolak balik berbaring dengan bantal sebagai penyangga kepalanya.
Namanya Tumirjo. Ia mengaku sudah menginjak umur 106 tahun. Pria asal Dusun Kali Tengah Lor, Desa Glagaharjo. Ia pun menjadi pengungsi paling tua selama erupsi Gunung Merapi.
Dengan logat Jawa yang khas, Tumirjo bercerita akan kondisinya selama di pengungsian. Ia mengaku kedua penglihatannya sudah tak mampu melihat dengan baik. Ia juga hanya bisa mendengar dengan samar-samar. Ia baru bisa mendengar jelas apabila lawan bicaranya berjarak sejengkal dari daun telinganya.
"Kula niku nak kalian buyut mboten lali, menawi krungu suarane mesti kelingan (Saya kalau sama cicit tidak lupa, kalau dengar suaranya pasti ingat)," kata Tumirjo ketika ditemui di Balai Desa Glagaharjo, Sabtu (25/5/2018).
Ia terpaksa mengungsi karena merasa khawatir dengan erupsi Merapi. Selama di rumah, ia merasa tidak tenang karena berkali-kali ia merasakan erupsi Merapi.
Selama ia hidup, Tumirjo sudah berkali-kali mengungsi akibat erupsi Merapi. Hingga umurnya kini lebih dari seabad, sudah berulang kali Tumirjo merasakan erupsi Gunung Merapi.
"Kalau tujuh kali saja lebih," ucapnya.
Dalam ingatan Tumirjo, letusan paling besar Merapi dirasakannya saat 2010 lalu. Akibat letusan itu, rumahnya luluh lantah hingga bersisa pondasi saja.
"Kabeh kobong (semua terbakar)," ujarnya dengan mimik sedih.
Kesedihan lelaki tua ini pun makin mendalam ketika mengingat teman sebayanya dulu. Satu persatu teman, tetangga telah dipanggil Tuhan.