Suara.com - Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii mengatakan, Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tenrang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menjunjung tinggi tentang Hak Asasi Manusia.
"Di Undang-Undang ini juga diimbangi dengan perlindungan HAM, yang juga sebelumnya nggak diatur di dalam UU Nomor 15 tahun 2003," ujar Syafii di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Tersangka kasus terorisme tidak boleh diperlakukan secara kejam. Dalam pasal ini menuntut penyidik dan aparat penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terduga pelaku secara manusiawi.
"Tidak boleh dihina harkat dan martabatnya. Kemudian kedua, dia berhak didampingi oleh pengacara dan bisa ditemui oleh keluarga kecuali dalam sekala tertentu," kata dia.
Syafii menjelaskan dalam UU Terorisme yang baru ada pasal yang bisa menjerat aparat kalau melakukan kesalahan.
Salah satunya tertuang dalam Pasal 28 ayat 3 berbunyi: Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hal asasi manusia.
Sedangkan pada Pasal 28 ayat 4 berbunyi: Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana.
"Ada pasal yang menjerat aparat kalau melakukan abuse of power, jadi kalau aparat yang nggak melakukan tersangka sebagaimana diatur itu, harus tidak dengan kejam. Tapi kalau kemudian dia melanggar, aparat ini dikenakan pemberatan hukum seperti diatur dalam kitab UU Hukum pidana.
"Misalnya kalau orang biasa yang melakukan kenannya 9 tahun (penjara), aparat yang melakukan ditambah satu per tiga (1/3), jadi 12 tahu. Jadi ada perimbangan lah, semakin mempersempit ruang gerak (terorisme), pada saat yang sama makin mengawal HAM juga dijunjung tinggi dalam penanganan teroris," kata dia.