Suara.com - Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAGRI), Syahroni menegaskan Indonesia tidak perlu melakukan impor produk pangan karena krisis pangan yang terjadi hanyalah mitos.
"Indonesia tengah menghadapi mitos krisis pangan sehingga seolah-olah harus mengimpor beras. Padahal panen padi berlangsung di setiap sentra, kita tak perlu impor," kata Syahroni sebagaimana dikutip dari Antara di Jakarta, Jumat.
Menurut Syahroni, langkah Bulog dan Kementan bersikukuh menolak usulan impor beras sudah tepat.
"Keduanya penjaga palang pintu yang harus kukuh menampilkan data produksi," kata Syahroni.
Saat ini beragam pihak memang mempertanyakan bila panen terjadi hampir setiap hari, mengapa di pasar induk seolah-olah langka.
Syahroni mengatakan, hasil panen padi memang tak semuanya mengalir ke pasar sehingga "marketable". "Corak petani saat ini berbeda dengan petani 20 tahun silam," kata Syahroni.
Ia mengatakan, corak petani di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa fase.
Pada fase leluhur, usaha pertanian hanya untuk pangan keluarga sehingga hasil panen kebanyakan menjadi stok keluarga.
Berikutnya fase pasca-revolusi hijau yang pernah sukses swasembada pangan pada 1984 dengan sistem agribisnis hingga era 2000-an.
"Ketika itu hampir semua hasil panen dilempar ke pasar. Pada fase ini dicirikan dengan involusi pertanian yang mengakibatkan lahan petani rata-rata kurang 1/4 hektare," jelasnya.
Terakhir fase era milenial agak berubah di mana petani kebanyakan adalah penyewa. Pemilik lahan bukan petani yang bergelut langsung di bidang pertanian.
"Petani penyewa lahan di pantura biasanya panen 3 kali yaitu padi-palawija-padi. Panen musim padi pertama untuk kebutuhan pangan dan sebagian besar dijual yang hasilnya untuk sewa garapan tahun depan. Kemudian panen palawija dijual untuk kebutuhan ekonomi keluarga, sementara panen padi ke-2 lebih banyak disimpan untuk kebutuhan pangan setahun," lanjut Syahroni menjelaskan.
Dengan demikian bila dihitung setahun, pada era revolusi hijau hampir semua hasil panen dilempar ke pasaran sehingga hanya 10-15 persen yang disimpan petani sebagai stok di masyarakat.
"Sementara sekarang stok di masyarakat bisa mencapai 40-50 persen karena petani saat ini kebanyakan penggarap yang tak memiliki lahan. Sementara pemilik lahan biasanya pegawai swasta atau pegawai negeri. Pemilik lahan biasanya menyimpan padi atau beras setoran penggarap untuk stok kebutuhan keluarga," tutur Syahroni.
Corak seperti itu, menurut Syahroni membuat petani penggarap menyisihkan 20-25 persen hasil panen untuk membayar sewa dengan hasil panen. Lalu sebagian hasil panen disimpan 10-20 persen oleh petani penggarap.
"Yang mengalir ke pasaran paling hanya 50-60 persen dari produksi," kata Syahroni.
Ia berpendapat, bila Kementerian Perdagangan hanya mengacu pada stok di pasar-pasar induk maka itu sebetulnya bukan indikator utama, tetapi hanya salah satu indikator saja sehingga tak bisa disimpulkan Indonesia harus impor. "Kesimpulannya bisa keliru," kata Syahroni.
Hal itu tentu, menurut Syahroni, perlu riset mendalam untuk mengetahui angka pasti kemana saja alur padi dan beras yang keluar dari panen petani.
"Yang jelas kondisi sekarang sudah berbeda dengan dulu saat petani menjual hampir seluruh hasil panen," kata Syahroni.