Tragedi Mei 98, Catur dan Celana Dalam Terakhir Mustofa

Kamis, 24 Mei 2018 | 17:43 WIB
Tragedi Mei 98, Catur dan Celana Dalam Terakhir Mustofa
Kusmiati terus berurai air mata di Monumen Mei 1998, Taman Pemakaman Umum, Cipayung, Jakarta, Minggu (13/5/2018). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sudah 20 tahun silam Mustofa dimakamkan, tapi Kusmiati tetap masygul. Perasaannya samak, penasaran, siapa dalang tragedi yang merampas buah hatinya. Sejak putranya terbakar di Yogya Plaza Klender, 1998, dunia bagi Kusmiati adalah kelabu. 2018, ia tetap teguh mencari terang.

Semburat Matahari masih terang ketika Mustofa, yang baru pulang dari sekolahnya di kawasan Pondok Bambu Jakarta Timur, berpamitan kepada sang ibu, Kusmiati, Kamis siang, 14 Mei 1998.

“Aku mau (main) catur ya mah,” tutur Mustofa saat berpamitan. Kusmiati mengizinkan anaknya pergi. Tak ada kecurigaan yang menyertai kepergian Mustofa.

Tatkala Matahari sudah lama terbenam, rasa khawatir mulai melanda Kusmiati. Malam semakin temaram, tapi Mustofa tak kunjung pulang.

Baca Juga: Prabowo Akan Bertemu SBY, PDIP Masih Yakin Demokrat Dukung Jokowi

Kusmiati dan suaminya lantas pergi, mencari tahu ke teman-teman sepermainan sang anak. Dari anak-anak itu, mereka mengetahui Mustofa sejak siang pergi ke arah Yogya Plaza—kini berganti menjadi Mal Citra Klender.

”Naik bus Hiba bareng-bareng temannya, ke arah Yogya Plaza,” begitu kata teman-temannya.

Sementara di televisi, wartawan tak henti-hentinya mengabarkan berita-berita tentang kerusuhan yang melanda ibu kota pada hari itu.

Kusmiati gundah. Kegelisahan semakin menjalar di pikirannya. Ia segera mengajak suaminya untuk bergegas ke arah Yogya Plaza, mencari Mustofa.

Namun, sang suami menyatakan sudah tak lagi kuat pergi mencari Mustofa. Akhirnya, ia mengajak putrinya pergi ke Yogya Plaza.

Baca Juga: Polisi: Remaja Pengancam Jokowi Bisa Dikenakan Pidana Anak

Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB ketika Kusmiati dan putrinya sampai di kawasan Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur.

Namun, pusat perbelanjaan itu tampak belum sepi. Sebaliknya, tengah semarak, riuh rendah oleh orang-orang yang asyik memilih dan membopong barang-barang berharga.

Kusmiati memutuskan untuk memasuki pusat perbelanjaan itu, dan semuanya semakin jelas. Orang-orang itu tengah menjarah.

Enam jam massa menjarah barang-barang seisi Yogya Plaza. Kusmiati tak ambil peduli. Ia tetap teguh pada tujuannya, mencari Mustofa.

Jumat, 15 Mei, pukul 03.00 WIB dini hari, Kusmiati mendengar suara ledakan di Yogya Plaza. Ia kaget, sampai melompat.

”Ya Allah, Allahu Akbar, lindungi saya. Saya hanya mau mencari anak saya, bukan nyari kerusuhan,” tutur Kusmiati kala itu.

Ia sempat melihat seorang lelaki berambut cepak tentara memberi komando dari atas sepeda motor, "Serbu, serbuuuu!".

Kerusuhan mulai merebak. Sementara ia belum bisa menemukan Mustofa. Akhirnya, Kusmiati memutuskan mengajak putrinya pulang. Meski cemas, ia berharap Mustofa kembali.

Jumat siang, berita-berita di televisi mengabarkan terdapat banyak korban berjatuhan saat penjarahan terjadi  di Yogya Plaza. Pusat perbelanjaan itu sendiri hangus terbakar, bersama para penjarah yang terjebak di dalamnya.

Melalui televisi juga, Kusmiati mengetahui korban-korban dalam tragedi itu sudah dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,  Jakarta Pusat.

Tanpa berpikir panjang, Kusmiati mengajak tetangganya bergegas ke RSCM. Sebab, batang hidung Mustofa tak juga terlihat di rumah.

Ketika di RSCM, Kusmiati menghadapi dilema. Satu sisi, ia lega karena tak melihat Mustofa di jejeran mayat-mayat yang hangus terbakar. Tapi, di lain sisi, ia juga masih gundah, karena keberadaan sang anak belum diketahui.

Ia memutuskan untuk berlama-lama di RSCM. Kusmiati baru pulang ketika hari sudah malam, dan yakin para petugas sudah beristirahat, menyetop mengangkut korban-korban yang baru ditemukan di Yogya Plaza ke RSCM.

Keesokan hari, Sabtu 16 Mei, Kusmiati kembali menyambangi RSCM. Hingga siang, belum juga ada kabar tentang Mustofa.

Tapi, semua optimisme Kusmiati mengenai nasib sang anak luluh lantak ketika hari itu mulai memasuki senja.

Langkah Kusmiati terhenti ketika ia merasa mengenal sisa celana dalam dan baju yang melekat di satu mayat, yang masuk dalam jajaran jenazah hangus terbakar.

Kusmiati betul-betul tahu, celana dalam dan baju itu milik sang anak, meski kedua pakaian tersebut hanya tersisa sebesar selampai.

Ia menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya. Ia rengkuh mayat yang wajahnya tak lagi dikenali itu.

Kusmati memangku mayat itu, seperti dulu ia menimang Mustofa saat masih bayi.

Kusmiati terus berurai air mata di Monumen Mei 1998, Taman Pemakaman Umum, Cipayung, Jakarta, Minggu (13/5/2018). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]

Punya uang berapa?

Pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto dan rezim Orde Baru, korupsi semakin merajalela. Tak hanya dilakoni elite kroni Soeharto, tapi juga sudah mewabah sampai ke pegawai-pegawai rendahan. Kusmiati juga menjadi saksi semua itu.

”Ibu mau bawa jenazah ini?” kata seorang petugas RSCM yang mengurusi mayat-mayat korban kerusuhan dan kebakaran Yogya Plaza kepada Kusmiati yang masih menangis.

”Ibu punya papan tidak?” tanya petugas itu lagi.

Di tengah kesedihannya, Kusmiati sempat mengingat, ia hanya membawa uang Rp 80 ribu di dalam sakunya. Tak mampu ia menyuruh orang membeli papan untuk keperluan kepulangan jenazah Mustofa.

”Papan dari mana mas? Kalau anak saya sudah boleh dibawa pulang, ya sudah, saya tunggu,” tegasnya.

Tanpa senyum, petugas itu akhirnya menyerah, tak lagi menuntut apa-apa dari Kusmiati.

Perempuan itu lantas menyaksikan, jenazah Mustofa dimandikan secara tak layak dan kemudian dibungkus. Barulah diserahkan kepadanya.

Tapi, Kusmiati ternyata masih dipersulit.

”Ibu pegang uang berapa? Buat sewa ambulans,” kata si petugas.

Kusmiati akhirnya kesal. ”Kok bapak nanya uang lagi sih. Kan saya sudah bilang tidak ada. Saya ada duit, tapi untuk urusan RT RW,” hardiknya.

Namun, petugas itu tetap berkukuh bahwa mobil ambulans itu harus disewa, tidak gratis. Kusmiati akhirnya mau memberikan uang sewa, tapi hanya Rp 35 ribu.

Selama di ambulans, Kusmiati erat-erat memangku jasad Mustofa.

Cari dan Adili Pelaku

Dua puluh tahun berlalu, Kusmiati masih menyimpan rasa kesal karena pemerintah tak juga bisa menyibak tabir gelap tragedi Mei 1998, yang turut merenggut nyawa Mustofa.

“Anak saya hangus terbakar. Benar-benar hangus, seperti sate, seperti kambing guling,” tutur Kusmiati kepada Suara.com sembari memeluk foto sang anak di Monumen Mei 1998, taman Pemakaman Umum Cipayung, Minggu (13/5/2018).

Ia menangis, tatkala menuturkan kenangan kali terakhir Mustofa berpamitan, lika-liku dirinya mencari Mustofa di Yogya Plaza, hingga betapa bobroknya mental para pegawai pemerintahan Orba saat ia hendak membawa pulang jenazah sang anak.

”Saya masih ingat mbak, sewaktu sudah menemukan Mustofa, petugas masih bertanya punya papan atau tidak. Anak saya dimandiin seperti bakaran sate, diguyur dan dibungkus,” tuturnya.

Tepat kala ia turut mengikuti prosesi tabur bunga di Monumen Mei 1998 untuk memperingati 20 tahun peristiwa itu, Kusmiati berharap Presiden Joko Widodo bisa menepati janji menyibak semua pelanggaran HAM dan tragedi masa lalu.

"Kami korban Mei 1998 minta pelaku diungkap. Jangan dioper ke sana-ke sini seperti bola pingpong. Sudah 20 tahun kami seperti bola pingpong. Kami juga meminta presiden perhatian kepada keluarga korban," tuntutnya.

Ia mengatakan, tak bakal lelah berjuang mencari keadilan untuk Mustofa. Kusmiati bertekad, sebelum nafasnya terhenti, ia akan terus menuntut pemerintah membuka dalang kerusuhan itu. Sebab ia meyakini, kerusuhan itu ada yang memprovokasi. Sang provokator, adalah orang dekat penguasa kala itu.

"Saya akan mencari terus keadilan, sampai kasus ini terang."

REKOMENDASI

TERKINI