Anas divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus tersebut. Namun, kemudian Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sehingga diturunkan satu tahun, menjadi tujuh tahun.
Masih belum puas, Anas mengajukan kasasi ke MA. Namun, sial bagi Anas, bukannya dikurangi, malah hukumannya diperberat menjadi 14 tahun penjara.
Tidak hanya itu, Anas juga diwajibkan untuk membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Kemudian, MA juga mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum dari KPK, yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.
Baca Juga: Jelang Asian Games, Soft Tenis Indonesia Try Out ke Jerman
Majelis hakim berkeyakinan, Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam secara pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU joPasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), harus dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang menegaskan tindak pidana asal, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis juga menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut, adalah keliru.
Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.
Baca Juga: Lima Negara Ini Punya Waktu Puasa Terpendek