Hak Perempuan Belum Terpenuhi di 20 Tahun Reformasi

Kamis, 24 Mei 2018 | 00:17 WIB
Hak Perempuan Belum Terpenuhi di 20 Tahun Reformasi
Komisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifahdi. (Suara.com/Lili Handayani)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Nasional Perempuan menilai usia reformasi Indonesia yang menginjak tahun ke-20 belum memperlihatkan adanya Pemajuan dan Pemenuhan HAM Perempuan serta Pembangunan Perdamaian. Kerangka kebijakan yang disusun pemerintah masih diskriminasi.

Komisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifahdi mengatakan meski memperlihatkan adanya perubahan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia. Tetapi kemajuan tersebut belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan khususnya korban konflik dan untuk membangun perdamaian yang sejati.

"Hal ini disebabkan karena kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk memulihkan hak-hak perempuan korban," kata Yuniyati Chuzaifah di Jakarta, Rabu (23/5/2018).

Menurut dia kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran tersebut adalah konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan politik identitas yang mempertebal intoleransi.

Di samping itu, model pembangunan yang masih menguntungkan sebagian saja dari masyarakat, mengutamakan pendekatan keamanan dalam penanganan gugatan warga, serta minim pelibatan substantif bagi perempuan maupun golongan-golongan masyarakat lain yang selama ini dipinggirkan, turut menghadirkan peluang bagi lahirnya kebijakan yang diskriminatif.

"Situasi ini diperburuk dengan mekanisme desentralisasi yang belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang mumpuni," kata dia.

Dia menyebut, cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghadirkan konflik baru dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggara negara yang terbatas, serta cara kerja yang belum koordinatif, menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja maksimal.

"Ini membuat program penanganan konflik serta dampaknya menjadi kurang efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik," kata Yuniyati.

Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya, belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal. Bahkan sebaliknya dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi, dan bahkan mengkriminalkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI