Suara.com - Bulan Mei 1998 menjadi periode kelam bangsa Indonesia. Kala itu, merebak kerusuhan di ibu kota dan sejumlah daerah, berikut pemerkosaan massal terhadap warga etnis Tionghoa.
Kerusuhan itu juga yang mewarnai hari-hari terakhir penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, yang akhirnya menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998.
Dalam kerusuhan tersebut, seribu orang Indonesia diperkirakan tewas, yang turut menghancurkan pusat-pusat perbelanjaan dan rumah di ibu kota, Jakarta.
Setidaknya, 150 wanita etnis Tionghoa diperkosa. Kerusuhan tersebut dimulai setelah krisis keuangan Asia menyebabkan pasar saham jatuh.
Baca Juga: Rumah Penyimpanan Petasan Meledak, 1 Tewas dan Puluhan Terluka
Aksi pemerkosaan massal dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa semakin meningkat ketika tentara menembak empat mahasiswa di sebuah universitas.
Kerusuhan tersebut, diduga sengaja dibuat oleh rezim saat itu untuk mendiskreditkan gerakan rakyat yang semakin banyak menentang dan mendesaknya untuk mundur.
Namun, Hutomo Mandala Putra—putra bungsu Soeharto—menilai kerusuhan Mei 1998 tersebut mungkin direkayasa justru untuk mengingkirkan sang ayah dari kekuasaan.
"Ini seperti sebuah film, di mana sutradara telah membuat skenario segalanya, tetapi mereka yang di lapangan hanya aktor. Jadi kita tidak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya," katanya saat diwawancarai Al Jazeera, Sabtu (19/5/2018).
Menurutnya, Soeharto pada tahun 1998 justru bertidak bijak dengan menyatakan berhenti sebagai presiden. Padahal, Soeharto bisa saja masih bertahan sebagai presiden.
Baca Juga: Bayar Pajak di Jakarta Fair Kemayoran akan Dapat Hadiah Kejutan
"Ayah saya bisa tetap berkuasa. Sebab, masih ada pasukan militer yang siap membelanya dan untuk menjaga situasi. Tapi yang dilakukan sebaliknya, ketika Harmoko (Ketua MPR saat itu) memintanya berhenti, maka dia berhenti,” tuturnya.
Dalam sesi wawancara itu, jurnalis Al Jazeera juga sempat mengonfirmasi apakah Prabowo Subianto, yang kala itu menjadi Panglima Konstad, berada di balik kerusuhan tersebut.
Namun, Tommy secara tegas menyanggah hal tersebut.
”Ya itu, bagian dari skenario... tapi saya kira bukan. Dia tidak memunyai kemampuan untuk itu,” tandasnya.