Suara.com - Peneliti terorisme dari Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC), Sidney Jones, menilai aksi teror bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur, tidak menunjukkan kekuatan ekstremisme kelompok fundamentalis.
Sidney justru melihat aksi bom bunuh diri di tiga gereja pada Minggu (13/5) tersebut sebagai unjuk kelemahan.
Pasalnya, ia melihat peristiwa tersebut hanya menjadi taktik para pelaku teroristik untuk meningkatkan eksistensi jaringan.
"Mereka mencari taktik-taktik yang spektakuler untuk muncul di depan umum, dan dapat perhatian umum," ujar Sidney dalam diskusi bertajuk “Menguak Fakta Aktual Radikalisme dan Terorisme di Indonesia” di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018).
Baca Juga: Menteri Jokowi Ramai-ramai ke KPK Petang Ini, Ada Apa?
Sidney menuturkan, perhatian dari kalangan masyarakat dibutuhkan oleh jaringan-jaringan teroris untuk melakukan rekrutmen calon-calon teroris baru.
"Kalau misalnya rekrutmen sudah mulai menurun karena sudah lama tidak aktif, justru pemimpin mencari saat itu untuk melakukan sesuatu yang spektakuler," tuturnya.
Oleh sebab itu, Sidney mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu membesar-besarkan aksi teroris seperti yang terjadi di Surabaya.
Hal tersebut dikarenakan aksi teroris tersebut hanya sebuah akal-akalan jaringan teroris untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat.
"Kita harus melihat ekstremisme sebagai sesuatu yang justru tidak punya kekuatan besar di Indonesia. Walaupun, yang terjadi selama bulan Mei mungkin menjadi sesuatu yang agak menakutkan," pungkasnya.
Baca Juga: Usai Diperiksa KPK, Istri Zumi Zola Cuma Senyum dan Bilang Maaf
Dita beserta keluarga adalah bomber tiga gereja di Surabaya. Dita melakukan bom bunuh diri di gereja Gereja Pantekosta Pusat Surabaya.
Untuk diketahui, Minggu dua pekan lalu, terjadi bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia, Gereja Santa Maria Tak Bercela, dan Gereja Pantekosta Pusat, di Surabaya.
Selang sehari, Senin (14/5), teroris kembali melakukan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya.