Tommy Blak-blakan Soal Pemerkosaan Massal dan Kejatuhan Soeharto

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 22 Mei 2018 | 15:52 WIB
Tommy Blak-blakan Soal Pemerkosaan Massal dan Kejatuhan Soeharto
Tommy Soeharto saat diwawancarai Al Jazeera, Sabtu (19/5/2018). [Al Jazeera]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dinasti politik Soeharto sedang dihidupkan kembali di Indonesia. Hutomo Mandala Putra, anak bungsu penguasa Orde Baru itu, tampil menjadi pemimpin Partai Berkarya dan bakal berlaga dalam Pemilu 2019.

Dua puluh tahun setelah jatuhnya mantan presiden yang dikenal dunia sebagai sosok kepala negara paling korup tersebut, Tommy Soeharto—sebutan beken Hutomo—bertekad mengembalikan kejayaan Orba.

Ketika diwawancarai Al Jazeera, Tommy mengakui sudah banyak melakukan kunjungan ke daerah-daerah demi mendapatkan dukungan dari calon pemilih sebagai calon presiden.

Bahkan, ia bepergian ke Solo untuk menerima gelar kerajaan dalam upaya mendapat dukungan politik.

Baca Juga: Aksi Kawanan Begal Teror Pengguna Layanan Hotspot di Bogor

Tommy bersama Partai Berkarya yang baru terbentuk, berjanji akan mengurangi kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia.

"Kami telah melalui 20 tahun reformasi, tetapi situasinya belum membaik. Utang nasional kita telah meningkat, dan kondisi kehidupan rakyat kita belum membaik secara signifikan," tutur Tommy saat diwawancarai Al Jazeera, Sabtu (19/5/2018).

Tommy  tak mengkhawatirkan, nama sang ayah yang buruk karena skandal korupsi dan gaya kepemimpinan otoriter akan memengaruhi ambisi politiknya.

“Anda lihat, banyak orang yang mengatakan rindu Orde Baru, rindu Soeharto,” klaimnya.

Warisan Korupsi

Baca Juga: Jenazah Bomber Bunuh Diri Gereja Surabaya Tak Diakui Keluarga

Perserikatan Bangsa Bangsa dan Transparansi Internasional pernah mengungkapkan serangkaian data bahwa Soeharto mencuri lebih banyak aset negara daripada pemimpin dunia lainnya.

Namun, pernyataan PBB maupun TI tersebut dibantah oleh Tommy.

"Angka-angka itu tidak benar. Mereka bilang ayah saya memiliki miliaran dolar di Eropa, di bank Swiss...  tidak ada yang memberikan bukti. Itu tidak pernah terbukti," sangkalnya.

Pada 2015, Mahkamah Agung Indonesia memerintahkan keluarga Soeharto untuk membayar lebih dari USD 400 juta yang digelapkan dari yayasan beasiswa Supersemar, tetapi uang itu tak kunjung dikembalikan.

Menurut Tommy, putusan pengadilan itu tidak praktis dan tidak memperhitungkan penutupan bank oleh pemerintah di mana banyak uang yayasan itu diinvestasikan.

"Bagaimana bisa yayasan memberikan uang kembali kepada pemerintah, jika yayasan ini menggunakan uang donor, bukan hanya (uang) dari pemerintah, dan uang ini telah diberikan kepada mereka yang menerima beasiswa?" klaimnya.

"Uang yang mereka cari (dituntut dikembalikan) adalah uang yang diinvestasikan di Bank Duta. Bank itu telah ditutup oleh pemerintah ... (dan) memiliki kewajiban lebih besar terhadap pelanggannya, tentu saja, pelanggan sedang diprioritaskan."

Surga yang Mematikan

Dalam sesi wawancara tersebut, Al Jazeera juga mempertanyakan kepada Tommy bahwa terdapat lebih dari satu juta orang Indonesia tewas dibunuh selama pemerintahan Soeharto. Sementara ribuan lainnya dipenjara tanpa proses hukum.

Soeharto sendiri menyatakan diri berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998, setelah gerakan rakyat semakin meluas menggelar aksi menuntut sang presiden turun tahta.

Berhentinya Soeharto juga dibayang-bayangi oleh tragedi pembunuhan dan pemerkosaan massal khususnya terhadap perempuan etnis Tionghoa.

Seribu orang Indonesia diperkirakan tewas selama kerusuhan, yang turut menghancurkan pusat-pusat perbelanjaan dan rumah di ibu kota, Jakarta.

Setidaknya, 150 wanita etnis Tionghoa diperkosa. Kerusuhan tersebut dimulai setelah krisis keuangan Asia menyebabkan pasar saham jatuh.

Aksi pemerkosaan massal dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa semakin meningkat ketika tentara menembak empat mahasiswa di sebuah universitas.

Kerusuhan tersebut, diduga sengaja dibuat oleh rezim saat itu untuk mendiskreditkan gerakan rakyat.

Namun, Tommy menilai kerusuhan Mei 1998 tersebut mungkin direkayasa justru untuk mengingkirkan sang ayah dari kekuasaan.

"Ini seperti sebuah film, di mana sutradara telah membuat skenario segalanya, tetapi mereka yang di lapangan hanya aktor. Jadi kita tidak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya," katanya.

Menurutnya, Soeharto pada tahun 1998 justru bertidak bijak dengan menyatakan berhenti sebagai presiden. Padahal, Soeharto bisa saja masih bertahan sebagai presiden.

"Ayah saya bisa tetap berkuasa. Sebab, masih ada pasukan militer yang siap membelanya dan untuk menjaga situasi. Tapi yang dilakukan sebaliknya, ketika Harmoko (Ketua MPR saat itu) memintanya berhenti, maka dia berhenti,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI