RUU Terorisme Diharapkan Bisa Mengakomodir Instansi di Luar Polri

Sabtu, 19 Mei 2018 | 12:29 WIB
RUU Terorisme Diharapkan Bisa Mengakomodir Instansi di Luar Polri
Ilustrasi terorisme. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat hukum Andri W. Kusuma menilai pentingnya aparat lain seperti TNI dilibatkan dalam hal penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia. Menurut Andri, spektrum terorisme sangat luas sehingga tak bisa hanya dimonopoli oleh Polri.

Andri berpendapat, penanganan terorisme oleh Polri sudah melampaui porsi Polri sebagai penegak hukum dan bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ‘kitab suci' penanganan tindak pidana, termasuk terorisme.

Ia pun berharap, revisi UU Terorisme yang kini digarap DPR tak dianggap untuk memperluas kewenangan Polri, karena hal itu akan sangat berbahaya. Justru, kata Andri, revisi UU Terorisme harus dipandang sebagai upaya mengembalikan Polri sesuai fungsinya sebagai penegak hukum.

"Saat ini saja oknum-oknum Polri sering sekali melakukan bukan saja abuse of power, tetapi execive power karena dia yang menangkap, melidik dan menilai sendiri secara subjektif alat-alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup," kata Andri.

Bahkan, lanjutnya, Polri pula yang melakukan penyidikan sampai melakukan perampasan nyawa, harta benda dan penahanan.

Menurut Andri, terlalu riskan apabila kewenangan Polri diperluas lewat RUU Terorisme. Sebab, kewenangan Polri dalam penanganan terorisme sudah terlalu besar.

Apalagi, ujung dari tindakan polisi adalah putusan hukum yang akan jadi jurisprudensi, yang tentunya akan berdampak pada penanganan tindak pidana lainnya.

"Buat Polri sebagai penegak hukum, melanggar KUHAP maka akan dapat berpotensi melanggar HAM," ujar Andri.

Apabila Polri dengan KUHAP tidak sanggup menjangkau, berarti harus melibatkan instrumen keamanan dan pertahanan negara lainnya. Sebab, terorisme memiliki dimensi dan spektrum yang luas.

Andri berpendapat, terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dari kegiatan terorisme, yaitu penggalangan, perekrutan, persiapan, sampai pada pelaksanaan.

"Dari empat itu, tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri, sehingga membutuhkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. Apalagi dalam hal letak geografis Indonesia memiliki pintu masuk yang sangat banyak," tutur Andri.

Lebih lanjut, Andri pun mengatakan, Polri tidak sanggup dalam urusan penindakan. Dia pun mencontohkan kasu Santoso di Palu beberapa waktu lalu, sangat jelas peran TNI kala itu. Belum lagi semisal teror di laut dan udara.

Nenurut Andri, TNI memiliki satuan khusus di tiga matra sekaligus seperti Den 81 Gultor Kopasus, Denjaka Marinir, dan Den Bravo Paskhas.

"Di sini bisa diisi atau sekaligus mengganti Densus 88," kata Andri.

Lebih lanjut, Andri juga berpendapat agar dalam revisi UU terorisme, kata atau diksi ‘tindak pidana’ harus diganti menjadi ancaman.

"Atau anti, atau apa saja yang penting kata tindak pidana dihilangkan," cetusnya.

Nantinya, lanjut Andri, dalam penanganan kejahatan terorisme, negara bukan saja dapat melibatkan aparat TNI dan BIN, tetapi juga dapat menggunakan seluruh instrumennya, seperti Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Sosial.

"Dimana pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana, pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Agama dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial, untuk melakukan deradikalisasi," tutur Andri.

Andri mengatakan, deradikalisasi seringkali diartikan sempit oleh negara, hanya penyuluhan agama saja. Padahal ada juga yang penting, yaitu harus memperhatikan pendidikan (Kemeterian Pendidikan) serta lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris ini tidak lagi dikucilkan dalam masyarakat dan dapat hidup normal ke depannya.

"Kalau tidak, dia dapat lebih radikal dari sebelumnya," tukas Andri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI