"Dari empat itu, tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri, sehingga membutuhkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. Apalagi dalam hal letak geografis Indonesia memiliki pintu masuk yang sangat banyak," tutur Andri.
Lebih lanjut, Andri pun mengatakan, Polri tidak sanggup dalam urusan penindakan. Dia pun mencontohkan kasu Santoso di Palu beberapa waktu lalu, sangat jelas peran TNI kala itu. Belum lagi semisal teror di laut dan udara.
Nenurut Andri, TNI memiliki satuan khusus di tiga matra sekaligus seperti Den 81 Gultor Kopasus, Denjaka Marinir, dan Den Bravo Paskhas.
"Di sini bisa diisi atau sekaligus mengganti Densus 88," kata Andri.
Lebih lanjut, Andri juga berpendapat agar dalam revisi UU terorisme, kata atau diksi ‘tindak pidana’ harus diganti menjadi ancaman.
"Atau anti, atau apa saja yang penting kata tindak pidana dihilangkan," cetusnya.
Nantinya, lanjut Andri, dalam penanganan kejahatan terorisme, negara bukan saja dapat melibatkan aparat TNI dan BIN, tetapi juga dapat menggunakan seluruh instrumennya, seperti Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Sosial.
"Dimana pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana, pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Agama dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial, untuk melakukan deradikalisasi," tutur Andri.
Andri mengatakan, deradikalisasi seringkali diartikan sempit oleh negara, hanya penyuluhan agama saja. Padahal ada juga yang penting, yaitu harus memperhatikan pendidikan (Kemeterian Pendidikan) serta lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris ini tidak lagi dikucilkan dalam masyarakat dan dapat hidup normal ke depannya.
"Kalau tidak, dia dapat lebih radikal dari sebelumnya," tukas Andri.