Suara.com - Terdakwa kasus dugaan merintangi penyidikan kasus e-KTP Fredrich Yunadi menghadirkan ahli hukum pidana yakni guru besar dari Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad dalam sidang lanjutan di Gedung Pengadilan Tipikor pada Kamis (17/5/2018).
Dalam keterangannya, Suparji menyebut tindak pidana yang diduga dilakukan oleh seorang advokat harus diusut setelah adanya proses kode etik, kecuali pemerkosaan dan pencurian.
"Jika menjalankan profesi, harus menunggu lembaga profesi, apakah ada pelanggaran profesi?" kata Suparji saat bersaksi di persidangan.
Sarpuji menjelaskan hal yang langsung dan tidak menunggu pembahasan etik apabila seorang advokat mencuri dan memperkosa, lantaran tindakan tersebut merupakan perkara pidana.
"Itu bisa dipidana karena bukan bagian dari profesi," katanya.
Lantas, kemudian jaksa KPK menanyakan terkait hal apabila seorang advokat diduga merintangi penyidikan dengan cara meminta diagnosis kecelakaan kliennya sebelum terjadi peristiwa kecelakaan.
Namun, Suparji tetap pada pendapatnya bahwa segala macam dugaan pelanggaran suatu profesi harus melalui komite etik lebih dulu sebelum masuk ke ranah pidana.
"Harus dibuktikan rekayasa atau tidak, apakah bukti rasional atau tidak? Rekayasa dalam rangka apa? Penghindaran hukum atau kepentingan kliennya, perlu dibuktikan dulu," jelas Suparji.
Sebelumnya, Fredrich Yunadi didakwa oleh Jaksa KPK menghalangi atau merintangi proses penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, yang menyeret Setya Novanto (Setnov).
Fredrich disebut bekerjasama dengan dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo. Keduanya diduga melakukan kesepakatan jahat untuk memanipulasi hasil rekam medis Setnov yang saat itu sedang diburu oleh KPK dan Polri.
Atas perbuatannya, Fredrich didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.