Syafruddin menggugat keduanya karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dalam gugatan tertanggal 3 April 2018, Syafruddin menyatakan tetap berpegang pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI, layak diberikan karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajibannya.
Kementerian Keuangan RI dalam jawaban gugatan menyatakan bahwa dalam hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BPK RI No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 Nopember 2006, ditegaskan bahwa BPK RI berpendapat SKL yang diberikan kepada Pemegang Saham Pengendali (PSP) PT. BDNI (Sjamsul Nursalim) layak untuk diberikan karena PSP telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002.
Sepakat dengan Yusril, terdakwa Syafruddin sendiri menilai dakwaan yang disampaikan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah alamat alias error in persona.Menurutnya, kebijakannya dalam menerbitkan Surat SKL saat menjabat Kepala BPPN kepada obligor pengendali saham BDNI pada tahun 1999, hanya sebatas menjalankan keputusan KKSK.
Selain itu, Sjamsul Nursalim juga, selaku share holder BDNI sudah melunasi kewajibannya terhadap BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Baca Juga: Kasus BLBI, Eks Ketua BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp 4,58 Triliun
"Yang jelas dari dakwaan tadi itu jelas error in persona, yang menjual bukan saya dan juga saya mengikuti seluruh aturan," kata Syafruddin.