Suara.com - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak.
Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-jakti, pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih S. Nursalim.
"Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi)," kata Jaksa KPK Khairudin saat membacakan surat dakwaan di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (14/5/2018).
Jaksa mengatakan pada saat itu, BDNI, yang merupakan salah satu bank di bawah kewenangan BPPN, memberikan uang pinjaman kepada pedagang budidaya tambak dalam bentuk kerja sama antara petambak dengan dua PT yakni PT DCD dan PT WM. Kedua PT tersebut diyakini milik Sjamsul Nursalim.
Baca Juga: Yusril Sebut KPK Salah Orang dalam Penetapan Tersangka Kasus BLBI
Dalam pencarian dana tersebut, Sjamsul dikenakan janji bayar Piutang secara tunai dengan menyerahkan aset sebesar piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI. Namun, uang tersebut ternyata tidak dibayarkan secara lancar oleh Sjamsul kepada pemerintah. Berdasarkan hasil audit, Sjamsul tidak pernah membayar utang tersebut.
Penyelesaian sengketa BDNI pun akhirnya dipegang oleh Syafruddin sebagai Ketua BPPN di tahun 2003. Kala itu, Syafruddin merustrukturisasi hutang BDNI sebesar Rp 3,9 triliun.
Dalam rapat terbatas pemerintah, Syafruddin mengusulkan kepada pemerintah agar BDNI hanya membayar Rp 1,1 trliun sementara Rp 2,8 trliun dihapus atau write off. Dalam rapat tersebut Syafruddin ternyata tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN. Namun, pihak pemerintah tidak menyepakati pandangan Syafruddin. Akan tetapi, Syafruddin justru membuat ringkasan rapat yang menyatakan ada penghapusan utang Rp 2,8 trliun.
Mengacu pada ringkasan yang dibuat Syafruddin, Dorojatun Kuntjoro-jakti pun memutuskan untuk menghapus hutang Rp 2,8 triliun. Hal itu tertuang dalam Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 yang menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp 100 juta.
Dengan penetapan nilai hutang maksimal tersebut, maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda.
Baca Juga: KPK Limpahkan Berkas Tersangka BLBI Syafruddin ke Penuntutan
Selain itu, dengan terbitnya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT DCD, maka keputusan-keputusan KKSK sebelumnya yaitu KEP.20/M.EKUIN/04/2000 tanggal 27 April 2000 yang memerintahkan porsi unsustainable debt seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim dan KEP.02/K.KKSK/03/2001 29 Maret 2001 yang memerintahkan porsi unsustainable debt dialihkan ke perusahaan inti yaitu PT DCD dinyatakan tidak berlaku.
Padahal, Dorojatun Kuntjoro-jakti telah mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002.
Setelah Syafruddin berhenti pada tahun 2004, pemerintah pun menerima laporan kinerja BPPN. Syafruddin melaporkan bahwa pihak Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan pembayaran nilai aset petambak senilai Rp 1,1 triliun sesuai keputusan KKSK No.KEP.02/K.KKSK/02/2004 13 Februari 2004 yang ditetapkan oleh Dorojatun Kuntjoro-jakti. Namun, saat laporan dikonfirmasi pemerintah, Syafruddin tidak bisa menjelaskan secara rinci tentang restrukturisasi dan pelunasan utang tersebut.
Jaksa KPK berpandangan, tindakan Syafruddin melanggar sejumlah aturan. Ia didakwa melanggar TAP MPR-RI Nomor: X/MPR/2001 ditetapkan 9 November 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, Pasal 37 ayat (1) dan (2) huruf c Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN.
Lalu Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor : KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN, Keputusan KKSK Nomor KEP.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002 dan Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002.
Jaksa mendakwa, perbuatan Syafruddin telah menguntungkan Syafruddin hingga Rp 4,58 triliun.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sejumlah empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut," kata Jaksa KPK.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Kesatu KUHP.