Kadis Lamteng Didakwa Menyuap DPRD Rp 9,6 Miliar Bersama Bupati

Senin, 07 Mei 2018 | 20:36 WIB
Kadis Lamteng Didakwa Menyuap DPRD Rp 9,6 Miliar Bersama Bupati
Bupati Lampung Tengah dan calon gubenur Lampung Mustafa mengenakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (16/2). [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) Taufik Rahman didakwa bersama-sama Bupati Lamteng Mustafa telah menyuap. Mereka menyuap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Lamteng periode 2014-2019 dengan total Rp9,6 miliar.

Suap tersebut diberikan dengan maksud agar DPRD Lamteng menyetujui rencana pinjaman daerah Kabupaten Lamteng kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) Persero sebesar Rp300 miliar pada Tahun Anggaran 2018.

"Serta menandatangani surat pernyataan kesediaan Pimpinan DPRD Kabupaten Lamteng untuk dilakukan pemotongan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam hal terjadi gagal bayar yang bertentangan dengan kewajibannya," kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri saat membacakan surat dakwaan di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta, Senin (7/5/2018).

Suap tersebut antara lain diberikan kepada Wakil Ketua DPRD Natalis Sinaga, Rusliyanto, Achmad Junaidi Sunardi, Raden Zugiri, Bunyana dan Zainuddi.

Baca Juga: Ini Langkah-langkah Sri Mulyani Usai Pegawainya Ditangkap KPK

Jaksa menjelaskan pinjaman tersebut ditujukan untuk keperluan pembangunan infrastruktur berupa ruas jalan dan jembatan.

Mustafa selaku pimpinan daerah kemudian mengusulkan agar Taufik bersama Madani selaku Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Abdul Haq selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, I.G Suryana sebagai Kepala Badan Penelitian dan pengembangan untuk menyiapkan usulan jalan dan jembatan yang menjadi prioritas untuk dibangun di Kabupaten Lamteng.

Berdasarkan studi kelayakan PT SMI menyutujui pinjaman tersebut yang akan digunakan untuk pembangunan dan peningkata 9 ruas jalan dan 1 jembatan dengan total biaya sebesar Rp 300 miliar.

Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 rencana peminjaman tersebut harus mendapatkan persetujuan DPRD dan meminta pertimbangan Kementerian Dalam Negeri.

"Kemendagri menyatakan belum dapat memberikan pertimbangan karena Pemkab Lamteng belum melengkapi persyaratan berupa dokumen Persetujuan DPRD, Rancangan APBD TA 2018 dan Laporan Keuangan Pemda TA 2016," jelas jaksa.

Baca Juga: Dosa-Dosa Politik Amien Rais diungkap Eksponen Aktivis 98

Selanjutnya pada tanggal 25 Oktober 2017 di Hotel Sheraton Bandara Soekarno Hatta, Mustafa bersama Madani melakukan pertemuan dengan pimpinan
DPRD Pemkab Lamteng antara lain Natalis Sinaga, Riagus Ria, Joni Hardito, M Ghofur, Rade Sugiri dan Zainuddin.

"Pada pertemuan itu Mustafa menyampaikan keinginannya agar usulan pinjaman daerah yang diajukan kepada DPRD Lamteng dapat disetujui," kata jaksa.

Selanjutnya dalam rapat pembahasan RAPBD pada tanggal 31 Oktober 2017 hanya Fraksi PKS yang menyetujui agar pinjamam daerah tersebut dimasukan dalam APBD Lamteng TA 2018.

Atas sikap mayoritas fraksi, Mustafa menemui Natalis Sinaga dari Fraksi PDIP agar mempengaruhi anggota DPRD dari Fraksi Gerinda dan Demokrat untuk memasukan rencana pinjamam tersebut ke dalam RAPBD.

"Natalis Sinaga kemudian meminta Mustafa menyediakan uang Rp5 miliar untuk diserahkan kepada unsur pimpinan DPRD Lamteng, para ketua Fraksi dan anggota DPRD. Mustafa menyetujuinya," jelasnya.

Tidak lama kemudian Mustafa meminta agar Taufik merealisasikan permintaan Natalis. Bahkan Taufik sempat meminta tambahan Rp3 miliar kepadanya yang telah disetujui Mustafa.

Taufik kemudian mengumpulkan para rekanan proyek di Kab Lamteng dan Bandar Lampung, disitu disampaikan adanya permintaan fee proyek yang akan dikerjakan para rekanan.

Simon Susilo dan Budi Winarto adalah dua rekanan yang setuju adanya permintaan fee, namun keduanya meminta proyek dalam jumlah besar. Simon meminta proyek senilai Rp 67 miliar dengan fee Rp 6,5 miliar. Sedangkan Budi meminta proyek Rp 40 miliar dengan fee Rp 5 miliar.

Total uang sejumlah Rp 12,5 miliar itu kemudian dikumpulkan oleh Rusmaldi selaku anak buah terdakwa dan diserahkan secara bertahap kepada Natalis Sinaga Rp 2 miliar. Rinciannya Rp1 miliar untuk Natalis dan sisanya untuk Iwan Rinaldo Syarif selaku Plt Ketua DPC Partai Demokrat Lamteng.

Kemudian diserahkan kepada Raden Zugiri selaku Ketua Fraksi PDIP Rp1,5 miliar, lalu anggota DPRD Lamteng Bunyana Rp 2 miliar dan Rp 1,5 miliar kepada Zainuddin selaku ketua fraksi Gerindra serta kepada Ketua DPRD Kab Lamteng Achmad Junaidi Sunardi Rp 1,2 miliar.

"Setelah adanya pemberian uang dengan jumlah keseluruhan Rp 8,695 miliar pimpinan DPRD Lamteng memberikan persetujuan Rencana pinjaman daerah Pemkab Lamteng kepada PT SMI," tegas jaksa.

Setelah APBD Lamtenh TA 2018 disahkan, Pemkab mengajukan permohonan pinjaman kepada PT SMI Rp300 miliar. Namun PT SMI mengatakan bahwa syarat pengajuan permohonan masih kurang.

Yaitu surat pernyataan kepala daerah yang disetujui pimpinan DPRD mengenai kesediaan pemotongan DAU dan DBH secara langsung apabila terjadi gagal bayar.

Untuk mendapatkan persetujuan tersebut, Mustofa kembali melobby Natalis. Namun Natalis kembali meminta uang Rp 2,5 miliar jika ingin syarat tersebut dipenuhi.

Lantaran uang yang dikumpulkan dari para rekanan sebelumnya telah habis, Mustafa kembali meminta Taufik untuk meminta lagi kepada rekanan yang belum lunas membayar komitmen fee. Kemudian Miftahullah Maharano Agung selaku rekanan jadi sasaran karena kurang bayar Rp 900 juta dan disanggupinya.

Terdakwa kemudian memerintahkan pegawai Dinas Bina Marga Supranowo agar menggenapkan uang tersebut menjadi Rp1 miliar yang diambil dari dana taktis Dinas Bina Marga.

Uang tersebut kemudian sampai di tangan anggota DPRD Kab Lamteng Rusliyanto. Belum sempat uang tersebut didistribusikan, Rusliyanto bersama Natalis diciduk petugas KPK.

Atas perbuatannya Taufik dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP jo Pasal 54 ayat 1 KUHPidana.

Atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI