Bupati Merayu Warga Jelang Penggusuran Proyek Bandara Kulon Progo

Senin, 07 Mei 2018 | 17:48 WIB
Bupati Merayu Warga Jelang Penggusuran Proyek Bandara Kulon Progo
Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) seluas hampir 637 hektar di Temon, Kulon Progo memasuki tahap eksekusi. Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) yang masih menolak diminta untuk segera meninggalkan lahan yang dianggap sudah menjadi kewenagan pihak pemrakarasa Angkasa Pura I.

Langkah-langkah untuk persiapan eksekusi-pun mulai dipikirkan.

Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo menjelaskan sampai detik masih ada 32 rumah  dengan 37 KK berada di zona Izin Penetapan Lokasi (IPL). Menurutnya total bidang sudah mulai menyempit terhitung dari 2600 bidang tanah keseluruhan yang dibebaskan, kini tinggal menyisakan 70 bidang.

“Ada 32 rumah, 37 KK sisanya dan ada 70 bidang dari 2600 bidang,” kata Hasto, Senin (7/5/2018).

Baca Juga: Warga Penolak Bandara Kulon Progo akan Dapat Rumah Kontrakan

Ia menjelaskan tahapan pengosongan lahan akan dimulai dengan menyakinkan pentingnya bandara kepada warga yang masih menolak. Bahkan pemerintah kabupaten Kulon Progo sudah menyiapkan hunian rumah sementara bagi warga yang masih kekeh.

Walaupun demikian, proses eksekusi lahan, menurut Hasto harus mengedepankan asas kemanusiaan, sebab warga yang tergusur juga merupakan warganya sendiri.

Ia sendiri berulang kali menjelaskan kepada warga, bahwa saat ini sudah masuk fase pindah rumah, terlebih dengan surat peringatan (SP 3) sudah dilayangkan Angkasa Pura kepada warga akhir bula lalu. Di satu sisi menurutnya kini sudah akan masuk hasil keputusan lelang pembangunan ladasan pacu.

"Ini sudah masuk fase pindah, entah kapan, lelang pembangunan bandara tahap bandara mulai landclearing, tahap kedua lelang akhir Mei sudah ada keputusannya, Juni sudah ada pembangunan landasan pacu,” ucap Hasto yang juga politisi PDIP itu.

Ia akan terus berusaha melakukan pendekatan persuasif kepada warga dengan mendatangi rumah-rumah warga.

Baca Juga: Gerindra Tolak Pembangunan Bandara Kulon Progo

Hasto janji skema pengosongan lahan tidak menggunakan cara-cara kekerasan seperti yang terjadi pada eksekusi lahan akhir Desember 2017.

“Kalau belum punya rumah di luar, saya minta disewakan rumah untuk 3 bulan, sambil nanti persiapan yang lain,” kata Hasto.

Ia menjelaskan ada ada sekitar 20 rumah yang akan disediakan pemerintah kabupaten Kulon Progo dalam kurun waktu tertentu. Sementara 5 rumah lagi berada di tanah milik Pakualaman dengan status Magersari.

“Kami menyiapkan 20 rumah, lima yang gratis karena magersari itu bisa dimiliki seumur hidup. Bisa saya berikan gratis sama tanahnya” ujar Hasto.

Menanggapi hal itu, Sofyan salah satu warga Panguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon progo (PWPP-KP) merasa tidak mendapatkan informasi akan hal itu, warga menurutnya lebih memilih cuek dengan penyediaan rumah. Mereka lebih memilih rumah dan lahan mereka yang masih berada di lokasi tapak pembangunan.

“Itu urusan mereka, warga tetap tak mau pindah, mereka (Angkasa pura-red) tahu sendiri kok,” kata Ustadz Sofyan saat dihubungi via telepon.

Hal itu dikuatkan oleh Kuasa hukum warga Teguh Purnomo, menurutnya warga hanya mendengar dari orang lain, tidak mendapat penjelasan langsung dari pemkab maupun AP terkait penyediaan rumah tersebut. Namun ia menekankan, warga tidak akan menerima satupun rumah,” kalaupun sudah disediakan ya terserah,” kata Teguh.

Sebelumnya warga PWPP-KP berkirim surat kepada Direktur utama PT. Angkasa Pura I (persero) di Jakarta dengan tebusan langsung kepada PresidenJoko Widodo. Isinya himbauan penghentian rencana pembangunan bandara serta pemberhentian pengosongan lahan yang akan dilakukan oleh Angkasa Pura I. Surat sendiri sudah dikirim melalui pos hari ini.

Menurut Teguh ada dua hal yang catat dalam perosedur yang dilakukan pemrakarsa sehingga tidak berhak untuk dilakukan pengosongan, pertama, terkait dengan konsinyasi yang dinilai cacat hukum, yang keduan terkait izin IPL yang dianggap masa berlakunya sudah habis.

“Dua hal tersebut menjadi dasar AP harus berhenti, termasuk ekseskusi warga, karena dianjutkan bisa jadi itu menjadi deretan pelanggaran panjang,” ujar Teguh. (Somad)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI