AJI: Polisi Musuh Kebebasan Pers Indonesia 2018, Mengapa?

Jum'at, 04 Mei 2018 | 02:54 WIB
AJI: Polisi Musuh Kebebasan Pers Indonesia 2018, Mengapa?
Puluhan aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa bertema "No Press Freedom in Papua" di depan pintu gerbang masuk Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Rabu (3/5).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kekuatannya menjangkau dan mempengaruhi pendapat publik, jika tidak digunakan sebagaimana amanat UU Pers, dapat menjadi boomerang bagi demokrasi, dan pers itu sendiri. Dewan Pers pun telah menegaskan dalam Surat Edaran Dewan Pers No 01/SE-DP/I/2018 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan Dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, menegaskan tentang peran media sebagai pengawas dan pemantau pemilu.

Dewan Pers pun telah menegaskan jurnalis yang telah memilih jalur perjuangan untuk kepentingan pribadi dan golongan dengan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah/wakil, anggota legislatif, DPD atau tim sukses telah kehilangan legitimasi sebagai jurnalis.

Karena pilihan politik tersebut bertolak belakang dengan tanggung jawab sebagai jurnalis untuk mengabdi pada publik dan kebenaran. Di internal, AJI pun telah mengeluarkan “Kode Perilaku” sebagai anggota AJI, dan mengatur tentang hal ini.

Seperti halnya Dewan Pers, dalam ketentuan Kode Perilaku itu, AJI pun meminta anggota yang terlibat dalam politik praktis untuk mengundurkan diri sebagai anggota. Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen AJI untuk menjaga integritas jurnalis dan organisasi.

Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Aksi FPI di Kantor Tempo Ancam Kebebasan Pers

Memperhatikan kondisi itu AJI menyatakan polisi sebagai musuh kebebasan pers Indonesia 2018 karena menjadi pelaku kekerasan terbanyak dalam kurun waktu Mei 2017 hingga Mei 2018.

Sejak tahun 2000, Musuh Kebebasan Pers antara lain telah diberikan kepada polisi (2000, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2015, 2016, 2017), TNI (2013), pegawai pemerintah (2006, 2007, 2008), dan politisi dan organ partai (2000, 2005), organisasi kemasyarakatan (2000, 2010), otak pembunuhan Anak Agung Gde Prabangsa (2009), majelis hakim yang memvonis bebas tiga terdakwa pembunuh jurnalis Ridwan Salamun (2011), penanggung jawab media lembaga penyiaran RCTI, MetroTV, TVOne, Global TV dan MNC (2014).

AJI pun mendesak aparat penegak hukum memproses dengan serius laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI