AJI: Polisi Musuh Kebebasan Pers Indonesia 2018, Mengapa?

Jum'at, 04 Mei 2018 | 02:54 WIB
AJI: Polisi Musuh Kebebasan Pers Indonesia 2018, Mengapa?
Puluhan aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa bertema "No Press Freedom in Papua" di depan pintu gerbang masuk Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Rabu (3/5).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ini akan menjadi ujian bagi independensi jurnalis dan media. Belajar dari tahun politik sebelumnya, yakni 2014, kondisi media tak lagi lurus menjalankan fungsi dan perannya, kental aroma partisan, memberi dampak yang luar biasa pada masyarakat. Masyarakat tidak lagi mendapatkan informasi yang objektif dan imparsial.

Pendidikan politik, baik yang muncul di layar kaca, telepon seluler dan komputer, tersiar melalui gelombang radio, bias dengan kepentingan partisan pemilik media. Informasi yang disajikan ke publik telah ter-framing sedemikian rupa untuk kepentingan politik elit media, membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat yang lain.

Kondisi itu menyebabkan sejumlah televisi mendapat sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers pun menyampaikan kekhawatiran yang sama. Di sebagian media yang lain, bias partisan itu muncul karena alasan ekonomi media.

Karena iklan kampanye selama masa pemilihan umum adalah salah satu sumber pendapatan yang signifikan bagi media. Di sisi lain, sebagian pemilik korporasi media saat ini juga tercatat sebagai tokoh politik, sebagian lain memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu.

Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Aksi FPI di Kantor Tempo Ancam Kebebasan Pers

Berbagai penelitian tentang media di Indonesia seperti yang dilakukan Ignatius Haryanto (2012), Merlyna Lym (2011) hingga yang terbaru Ross Tapsell (2017), Policy Paper Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) terkait media partisan saat pemilu 2014, secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa di tahun politik, kualitas jurnalisme dan informasi publik menjadi taruhan dengan kedekatan atau peran pemilik media di panggung politik.

Bahkan pada 2014, AJI mengumumkan bahwa Musuh Kebebasan Pers adalah penanggung jawab di stasiun televisi MNC Group, tvOne dan MetroTV. Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok tertentu.

AJI mendapati bahwa praktik oligopoli media massa membuat telah mengontrol pembentukan opini masyarakat. Dan hal ini dilalukan oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media. Kondisi perlu mendapat perhatian dari semua pihak.

Hak politik adalah hak setiap orang, termasuk pemilik media dan jurnalis. Tapi hak politik tidak seharusnya mencemari ruang redaksi. Pemilik dan awak redaksi wajib dapat menjaga kejernihan ruang redaksi dengan berpegang pada prinsip “garis api,” tidak menggunakan media untuk kepentingan politik praktis. Sikap politik redaksi hanya berada di ruang editorial, bukan pada karya pemberitaan.

Tentu hal ini bukan hal mudah, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan ekonomi media untuk mendapatkan iklan selama masa kampanye; kelangsungan bisnis media selalu digunakan sebagai alasan. Tapi perlu kembali diingat, media mempunyai peran yang sangat penting dalam proses demokrasi. Peran ini yang mendorong lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang melindungi pers dan jurnalis dalam menjalankan peran dan tugasnya. 

Baca Juga: Pimpinan DPR Menilai RKUHP Tak Bungkam Kebebasan Pers

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI