Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali merilis data tentang ancaman terhadap indenpendensi media dan jurnalis. Terutama di tahun politik Indonesia, tahun 2018 dan tahun 2019.
Data ini dirilis juga karena memperingati World Press Freedom Day (WPFD) 2018. Dalam laporannya yang dirilis, Kamis (3/5/2018) kemarin, AJI mencatat situasi kebebasan pers dunia pada 2018 ini tak cukup menggembirakan bagi jurnalis dan pekerja media pada umumnya.
Lembaga internasional yang bergerak di bidang advokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis, Reporters Without Borders (RSF), mencatat tren itu dalam Indeks Kemerdekaan Pers Dunia 2018 dengan tema “Hatred of Journalism threatens democracies.” Salah satunya adalah soal makin maraknya pernyataan permusuhan terhadap media, termasuk oleh pemimpin pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Peringkat Indonesia di RSF pada 2018 juga stagnan, yaitu di angka 124. Peringkat ini sama dengan peringkat Indonesia pada tahun 2017 lalu. Faktor penting yang patut diduga sebagai penyebab stagnannya peringkat Indonesia adalah karena iklim hukum, politik dan ekonomi yang kurang mendukung bagi kebebasan pers.
Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Aksi FPI di Kantor Tempo Ancam Kebebasan Pers
Iklim hukum antara lain karena masih adanya sejumlah regulasi yang mengancam kemerdekaan pers seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elekktronik.
Salah satu faktor penting dalam iklim politik yang mempengaruhi situasi kemerdekaan pers Indonesia adalah masih tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis. Inilah hasil pendataan yang dilakukan Bidang Advokasi AJI Indonesia soal kasus kekerasan terhadap jurnalis pada Mei 2017 hingga Mei 2018.
AJI mencatat, baik dari laporan AJI Kota dan pemberitaan media massa, terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018. Kasus ini terjadi di 56 daerah kota/kabupaten di 25 provinsi.
Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di periode yang sama, yakni 72 kasus kekerasan. Kasus kekerasan fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap jurnalis, yakni sebanyak 24 kasus.
Jenis kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis beragam, mulai dari penyeretan, pemukulan, baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul. Hingga pengeroyokan oleh oknum.
Baca Juga: Pimpinan DPR Menilai RKUHP Tak Bungkam Kebebasan Pers
Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran. Pengusiran dilakukan baik oleh aparatur negara ataupun anggota security atau satpam. Dalam beberapa kasus, wartawan yang hendak mengkonfirmasi berita sensitif, utamanya di luar Jakarta, sering kali harus berhadapan dengan ajudan, polisi, ataupun satpam yang sudah bersiap sedia menghadang atau bahkan akhirnya merampas alat kerja wartawan.
Di beberapa kasus, seorang ajudan, misalnya, tak hanya mengusir tapi juga menghardik dengan kata-kata tidak sopan. Hal ini memperlihatkan masih sangat diperlukannya sosialisasi hak-hak jurnalis kepada kalangan Pada periode ini, pelaku kekerasan terbanyak, 24 kasus, masih didominasi polisi.
Disusul oleh pejabat pemerintah atau eksekutif dengan 16 kasus. Sudah bertahun-tahun polisi menjadi pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis, khususnya di luar Jakarta. Salah satu kasus yang menjadi sorotan termasuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang anggota Polisi di Timika, Papua, kepada wartawan Okezone; yang berujung pada pengancaman yang dilakukan oleh seorang anggota polisi lainnya kepada wartawan, juga di Timika.