Terkait Korupsi Gedung IPDN, KPK Kembali Garap Gamawan Fauzi

Kamis, 03 Mei 2018 | 12:10 WIB
Terkait Korupsi Gedung IPDN, KPK Kembali Garap Gamawan Fauzi
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/1).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi terkait pembangunan gedung Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hari ini, Kamis (3/5/2018)  penyidik KPK memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Gamawan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Dudy Jocom.

"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DJ dalam kasus pembangunan kampus IPDN Agam," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (3/5/2018).

Selain Gamawan, KPK juga memeriksa Mulyawan selaku Direktur PT Kharisma Indotarim Utama. Dia juga diperiksa sebagai saksi untuk Dudy.

Sebelumnya, KPK sudah menggarap sejumlah saksi, baik itu dari PT. Hutama Karya dari Kemendagri, dan juga beberapa dari pihak lain. Bahkan, KPK pernah memeriksa 42 saksi di Kampus IPDN, Baso, Kabupaten Agam, secara maraton pada 17 Maret - 23 Maret 2016.

Pemeriksaan 42 saksi itu dilakukan KPK sebagai langkah efektifitas dan efisiensi. Sebab, semua saksi tinggal di Sumbar, sehingga akan memakan waktu dan tenaga jika semuanya dipanggil ke Jakarta.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Dudy Jocom dan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan.

Kedua tersangka diduga menyalah gunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain dalam proyek pembangunan Gedung Kampus IPDN Kabupaten Agam yang diresmikan Mendagri era Gamawan Fauzi pada 2013 silam.

Akibat perbuatan tersebut negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 34 miliar dari total nilai proyek Rp 125 miliar.

Keduanya disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 huruf a atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI