Suara.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengakui, mengkhawatirkan kondisi perburuhan pada era Presiden Joko Widodo yang diklaim dalam keadaan baik tapi menurutnya justru sebaliknya.
Pasalnya, kata Fadli, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah lapangan kerja di Indonesia mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir.
"Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi," ujar Fadli dalam refleksi peringatan Hari Buruh Sedunia tahun 2018 melalui keterangan tertulisnya, Selasa (1/5/2018).
Karenanya, kata Fadli, masyarakat harus kritis terhadap turunnya angka pengangguran yang sering diklaim pemerintah era Presiden Jokowi.
Baca Juga: Wejangan Susy Susanti untuk Tim Indonesia di Piala Thomas & Uber
Menurut Fadli, persentase jumlah pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak lagi bekerja di sektor formal, melainkan terlempar menjadi pekerja di sektor informal.
"Ini menjelaskan kenapa misalnya jumlah anggota serikat buruh pada 2017 hanya tinggal 2,7 juta orang. Padahal, pada tahun 2007, jumlahnya mencapai 3,4 juta orang. Mereka sudah di-PHK dan kini hanya bisa bekerja di sektor informal, seperti menjadi sisten rumah tangga, tukang pangkas rambut, pedagang asongan, atau ojek online. Ini jelas bukan sektor yang kita harapkan menjadi penopang penciptaan lapangan kerja," ucapnya.
Fadli menuturkan, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, dalam rentang tahun 2015-2016, perekonomian Indonesia juga hanya bisa menciptakan 290 ribu hingga 340 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Padahal, dalam situasi normal angka serapan lapangan kerja seharusnya berada pada level 500 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kemampuan penciptaan lapangan kerja ekonomi di Indonesia sebenarnya di bawah standar.
"Itu sebabnya, saya menyimpulkan kehidupan perburuhan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu," tuturnya.
Baca Juga: Menaker Janji Teruskan Tuntutan 5 Maklumat Pekerja ke Jokowi
Fadli menilai, pernyataan pendukung pemerintah terkait banjirnya tenaga asing lantaran dampak dari kebijakan pemerintah Orde Baru atau presiden sebelumnya sangat tidak cerdas.
"Menurut saya apologi itu sangat tak cerdas. Seharusnya dia baca buku dan berbicara dengan data. Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun, meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga 8 persen per tahun,” ungkapnya.
Tahun 1995, misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu. Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2 ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing," ucap Fadli.
Lebih lanjut, Fadli mengakui heran pemerintah pusat tak mengoreksi kebijakan masa lalu
"Jika pemerintahan saat ini tak setuju kebijakan masa lalu, lalu kenapa tidak koreksi? Bukankah itu alasan kenapa demokrasi mendesain diadakannya Pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik?" ucap Fadli.
"Nyatanya, bukan di masa Presiden Soeharto terbit Permenakertrans No. 16/2015, atau Permenakertrans No. 35/2015, ataupun Perpres No. 20/2018, yang kesemuanya menyisihkan kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo," sambungnya.
Ia pun mendukung Peraturan Presiden Nomor tahun 18/2018 dicabut.
"Saya mendukung Perpres No. 18/2018 dicabut begitu juga aturan-aturan lain, yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh lokal sejahtera," tandasnya.