Suara.com - Solidaritas Perempuan (SP) Angin Mamiri menemukan fakta jika banyak perempuan buruh migran asal Makassar yang bekerja menjadi buruh perkebunan kelapa sawit di Sabah atau Sarawak, Malaysia berada dalam kondisi menyedihkan. Mereka masih sangat minim jaminan keamanan dan keselamatan kerja.
"Terlebih, banyak perempuan buruh tersebut tanpa dokumen resmi, direkrut melalui jalur non-prosedural dan sebagian besar bekerja tanpa kontrak kerja sehingga membuat posisi mereka lemah dan menuntut hak-haknya," ungkap Ketua Badan Ekskutif Nasional SP Puspa Dewi, di Cikini, Jakarta Pusat, (30/4/2018).
Situasi yang dialami perempuan buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Malaysia juga dialami di Indonesia. Perusahaan tidak menyediakan alat-alat pelindung kerja seperti masker, sarung tangan, dan helm pada perempuan buruh, khususnya mereka yang bersentuhan dengan pestisida, sehingga perempuan buruh perkebunan sangat rentan mengalami gangguan kesehatan, terutama kesehatan produksi.
"Tidak itu saja, peremouan buruh yang bekerja di perkebunan sawit juga kerap menerima perlakuan yang tidak manusiawi baik dari pemilik perkebunan maupun mandor. Pengaduan yang sering muncul adalah intimidasi dan kekerasan fisik, psikis serta seksual," ujarnya.
Buruh perempuan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit masih banyak mengalami berbagai pelanggaran hak. Kondisi yang penuh resiko akan keselamatan dan gangguan kesehatan perempuan ini tidak menjadi perhatian serius negara.
Hal lain diungkapkan Puspa Dewi yaitu situasi persoalan perempuan buruh nelayan di Jakarta. Perempuan buruh nelayan memiliki peran strategis di sektor perikanan.
Sayangnya, kata Puspa Dewi, pembangunan di wilayah pesisir telah mengakibatkan hancurnya ruang hidup dan sumber produksi perempuan buruh nelayan, sehingga penghasilannya berkurang.
"Pada akhirnya hal itu berdampak pada penurunan jumlah penghasilan buruh," tegasnya.
Mereka, lanjut dia, dianggap bukan nelayan dan pekerjaannya hanya sekedar membantu suami. Akibatnya mereka tidak menjadi subyek dalam pengambilan kepatutan maupun dalam mengakses berbagai program dan jaminan sosial yang disediakan karena tidak adanya pengakuan tersebut.
Penindasan dan ketidakadilan berlapis juga dialami perempuan buruh migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga. Perempuan buruh migran memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tindak kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban perdagangan manusia.