Suara.com - Setya Novanto, terdakwa korupsi proyek pengadaan e-KTP, akhirnya mengungkapkan keberadaan dirinya saat ketika dicari KPK tanggal 15 November 2017.
Hal itu diungkapkan Setya Novanto saat bersaksi untuk terdakwa merintangi penyidikan kasus korupsi e-KTP dokter Bimanesh Sutarjo di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (27/4/2018).
Ia menceritakan, kala itu, petugas KPK menyambangi rumah Setnov di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tetapi dia menghilang.
Setnov mengakui berada di sebuah hotel di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat, ketika penyidik KPK mencarinya.
Baca Juga: Velodrome Rawamangun Sudah 95 Persen, Sandiaga: No Issues
Kepada majelis hakim, Novanto mengatakan pergi dari rumahnya di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ke daerah Cibulan, Bogor, Rabu (15/11/2017) malam sekitar pukul 19.30 WIB.
Namun, ketika di tengah perjalanan, Setya Novanto mendapat kabar melalui ajudannya bahwa dirinya akan diciduk penyidik KPK.
"Dalam perjalanan itu, kami diberi tahu bahwa di rumah itu ada beberapa polisi," kata Setya Novanto.
Mendengar hal tersebut, ia meminta ajudannya Reza Pahlevi untuk terus menuju ke arah Bogor. Ia memerintahkan Reza untuk mencari tempat beristirahat sembari bisa memantau perkembangan situasi.
"Saya minta (jalan) terus saja, cari tempat yang ada televisinya, kita dengarkan apa sih masalahnya," katanya.
Baca Juga: Setya Novanto: Saya Gaptek, Ajudan Saya yang Pegang HP
Mantan Ketua DPR RI tersebut kemudian memilih untuk bermalam di sebuah hotel bersama ajudannya. Selain ajudan, ternyata Setnov ditemani oleh politikus Partai Golkar Aziz Samual. Dari hotel tersebut, dirinya melihat perkembangan di rumahnya lewat berita di televisi.
Setnov mengakui melihat berita bahwa rumahnya digeledah penyidik KPK. Kemudian ada juga tayangan di televisi, penyidik KPK tengah mencari Ketua DPR. Saat itu status Novanto adalah tersangka korupsi e-KTP.
"Ya saya lihat besar sekali, (ada berita) rumah ketua DPR sedang ada penggeledahan. Dicari Ketua DPR tak ada," katanya.
Novanto memilih untuk tidur di hotel tersebut bersama ajudannya, sementara Aziz Samual pamit untuk pulang dan pagi harinya akan kembali untuk menjemput. Novanto mengaku sudah kembali bangun sekitar pukul 04.30 WIB pada tanggal 16 November 2017.
Menurut Novanto, selepas bangung tidur dirinya langsung menelepon kuasa hukumnya Fredrich Yunadi. Mantan Bendahara Umum Partai Golkar itu mengaku menanyakan kondisi keluarganya kepada Fredrich. Ketika itu, Fredrich turut menginfokan bahwa ada surat penahanan dari penyidik KPK.
"Pak Nov kelihatannya ada surat untuk penahanan. Ya udah nanti saya akan pelajari. Karena sudah dijelaskan ada penahanan, kita putuskan saja (untuk datang ke KPK)," kata Novanto menirukan perbincangannya dengan Fredrich.
Pada Kamis, 16 November 2017 akhirnya mantan Ketua DPR RI itu memutuskan kembali ke Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB. Ketika itu, dirinya juga sudah menyampaikan akan mendatangi gedung KPK pada malam harinya ditemani Ketua DPD I Golkar seluruh Indonesia.
Sebelum ke gedung DPR, Novanto mengaku sempat berputar-putar terlebih dahulu di jalan karena kondisi jalan yang macet.
"Mutar-mutar dulu di jalan, sambil memeriksa. Jam satu (siang) sudah sampai di Jakarta," jelasnya.
Novanto mengaku tiba di DPR sore hari. Namun, setelah dari gedung dewan Senayan dirinya tak langsung menuju gedung KPK melainkan ke Studio Metro TV terlebih dahulu untuk live dalam sebuah acara.
Namun nahas, dalam perjalan menuju ke Metro TV, mobil yang ditumpangi Novanti bersama mantan kontributor Metro TV Hilman Mattauch dan ajudannya Reza mengalami kecelakaan. Novanto pun dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Saat tengah dalam perawatan, sejumlah penyidik KPK kemudian mendatanginya. Novanto hanya semalam di RS Medika Permata Hijau. Ia dijemput beberapa penyidik KPK dan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dua malam terbaring di RSCM. Setelah itu, pada Minggu, 19 November 2017, Novanto dibawa ke KPK untuk dilakukan penahanan.
Kini mantan Ketua DPR RI itu telah divonis 15 tahun kurungan penjara dan denda Rp500 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.
Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS dan hak politiknya dicabut selama lima tahun.