Setnov, Si Tampan Penjual Beras Jadi Ketua DPR dan Kini Pesakitan

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 24 April 2018 | 16:47 WIB
Setnov, Si Tampan Penjual Beras Jadi Ketua DPR dan Kini Pesakitan
Setya Novanto saat muda (kiri) dan saat menghadiri sidang putusan kasusnya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/4/2018). [kolase Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/4/2018). Hakim memutuskan Setnov terbukti melakukan korupsi dana anggaran proyek pengadaan KTP elektronik periode 2011-2012.

Selain divonis penjara, Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

“Mencabut hak politik terdakwa selama lima tahun, terhitung sejak menjalani masa hukuman utamanya,” kata ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan putusan terhadap Setnov di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya Kemayoran, Jakarta Pusat.

Pencabutan hak politik itu otomatis membuat Setnov baru bebas beraktivitas dalam bidang politik setelah keluar dari balik jeruji besi.

Baca Juga: Alasan Slamet Rahardjo Tak Pernah Mau Jadi Juri Festival Film

Lantas, bagaimana kisah perjalanan hidup Setnov yang penuh liku-liku tersebut? Dikutip dari berbagai sumber, Setya Novanto lahir pada 12 November 1955 di Bandung, Jawa Barat.

Orang tuanya bercerai saat ia masih duduk di SD. Pada masa SMA, ia bertemu dengan Hayono Isman yang kelak menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga era Orde Baru dan pembina politiknya di Golkar.

Selepas SMA ia melanjutkan kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Saat berkuliah di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Setnov juga memunyai pekerjaan sampingan.

Setnov berjualan beras dan madu dengan modal awal Rp 82.500. Ia memulai usahanya itu dengan kulakan tiga kuintal beras hingga bisa berjualan beras sampai dua truk yang langsung diambil dari pusatnya, Lamongan.

Saat itu, Setnov juga punya kios di pasar Keputran, Surabaya. Namun usaha tersebut tak bertahan lama dan predikat juragan beras ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur.

Baca Juga: Bule Cantik Austria Tewas Ditabrak Perahu di Bali

Pada era 1970-an itu, ia juga merintis karier sebagai model. Bahkan, ia pernah dinobatkan sebagai “Lelaki Tertampan se-Surabaya tahun 1975”.

Setelah meninggalkan bisnis beras, ia mendirikan CV Mandar Teguh bersama putra Direktur Bank BRI Surabaya, Hartawan, dan pada saat yang sama ia ditawari bekerja menjual mobil salesman Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur.

Ia mengiyakannya dan memilih membubarkan CV yang didirikannya. Berkat kepiawaiannya menjual, pada usia 22 tahun dan Setya tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi yang menjadi Kepala Penjualan Mobil untuk wilayah timur Indonesia.

Seusai lulus kuliah, Setya bekerja untuk PT Aninda Cipta Perdana yang bergerak sebagai perusahaan penyalur pupuk PT Petrokimia Gresik untuk wilayah Surabaya dan Nusa Tenggara Timur.

PT Aninda dimiliki oleh Hayono Isman, teman sekelasnya di SMAN 9 Jakarta. Pertemanannya dengan Hayono Isman itulah yang menjadi permulaan kiprah Setnov di dunia politik.

Ketika memutuskan kembali ke Jakarta tahun 1982, Setnov meneruskan kuliah jurusan akuntansi di Universitas Trisaksi. Selama itulah ia indekos di rumah Hayono. Selain menjadi staf, ia juga mengurus kebun, menyapu, mengepel, hingga menyuci mobil dan menjadi sopir pribadi keluarga Hayono.

Setelahnya, Setnov banyak berkiprah  di dunia politik hingga tahun 2016, ia dipilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Selanjutnya, ia juga menjadi Ketua DPR RI hingga kasus korupsi dana e-KTP ikut menyeret namanya.

Kronologi Kasus

Setnov masuk ke pusaran kasus korupsi e-KTP sejak 17 Juli 2017, yakni ketika KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka.

Namun, Setnov lantas mendaftarkan gugatan praperadilan melawan keputusan KPK itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September tahun lalu.

Alhasil, pada 29 September 2017, majelis hakim PN Jakarta Selatan menyatakan status tersangka yang diterapkan KPK kepada Setnov tidak melalui prosedur sah. Hakim juga memutuskan KPK harus menghentikan penyidikan terhadap Setnov.

Tapi, pada 5 Oktober 2017, KPK kembali melakukan penyelidikan baru terhadap kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setnov.

Selang sebulan, persisnya 10 November, KPK resmi kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka kasus e-KTP.

Lima hari kemudian, 15 November, KPK menjemput paksa Setnov di rumahnya setelah tiga kali mangkir dari pemeriksaan. Namun, Setnov tak berada di rumahnya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19 Melawai, Jakarta Selatan. Setnov dinyatakan buron.

Ketika diburu KPK, pada 16 November malam, Setnov didapati kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau. Ia lantas dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Sehari setelah dirawat, 17 November,  KPK resmi menahan Setnov sebagai tersangka kasus e-KTP. Karena sakit, KPK membantarkan penahanan dan memasukkan Setnov ke RSCM.

Pada 13 Desember 2017, sidang perdana pokok perkara Setnov digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Setnov yang sempat mengajukan praperadilan untuk kali kedua harus gigit jari. Sebab, dengan digelarnya sidang perdana tersebut, upayanya itu batal demi hukum.

Kisah ini berlanjut pada 29 Maret, ketika JPU KPK menuntut majelis hakim memvonis Setnov penjara 15 tahun, mencabut hak politik, denda, serta dipaksa mengembalikan uang dikorupsinya.

Akhirnya, Selasa hari ini, mjelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Setnov dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, pencabutan hak politik selama 5 tahun, dan dipaksa mengembalikan uang yang dikorupsi. Setnov sendiri belum mau menyatakan banding.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI