Suara.com - Diktum terkenal bahwa "hukum kerap kali tajam ke bawah tapi tumpul ke atas", tampak mampu mengiaskan momen Ayub, petani yang dituduh mencuri di tanahnya sendiri, saat bersamuh dengan sang putra.
Betapa tidak, Ayub terpaksa menemui putranya yang masih di bawah umur dengan tangan diborgol. Hal tersebut dinilai tidak manusiawi dan melanggar hak anak.
Sementara banyak koruptor yang berurusan dengan beragam modus patgulipat uang negara, kebanyakan mendapat perlakuan lebih baik.
Foto pertemuan Ayub dan sang anak tersebut terpotret pada KAmis (19/4), dan diunggah di media sosial oleh aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat, Jumat (20/4/2018).
Baca Juga: BSSN dan BRI MoU Perkuat Keamanan Ekonomi Digital
AGRA adalah organisasi massa pentani dan komunitas adat minoritas, yang ikut memperjuangkan pembebasan tanpa syarat bagi Ayub.
“Lihatlah Mhs (inisial nama anak Ayub) saat bertemu dangan ayahnya. Dia tidak melihat wajah sang ayah. Akan tetapi, Mhs memandangi tangan sang ayah yang di ikat. Tentu saja akan ada banyak pertanyaan di benaknya. Apalagi, beberapa bulan tidak bertemu, tapi saat berjumpa justru kondisi terikat,” tutur Harry Sandy Ame, aktivis AGRA Kalbar.
Bagi Ayub, kata dia, dengan kondisi terikat seperti demikian tentu tidak bisa leluasa membelai sang anak, apalagi memeluknya hanya untuk sekadar melepas kerinduan.
”Tindakan Kejaksaan Negri Mempawah yang mengikat Ayub di depan anaknya tentu melanggar Prinsip-Prinsip Hak Anak,” tuturnya.
Menurutnya, keputusan Kejaksaan Negeri Mempawah mengikat tangan Ayub bakal menyebabkan sang anak traumatis.
Baca Juga: Pantau Infrastruktur Lewat e-Gov, Begini Cara Kerjanya
”Kami menilai keputusan Kejari Mempawah sudah melanggar hak asasi manusia dan hak anak. Kami mendesak Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas HAM bertindak,” tegasnya.
Kriminalisasi Petani
Sekretaris Jenderal AGRA Mohammad Ali mengatakan, Ayub adalah seorang petani sekaligus pejuang agraria dari Desa Olak-Olak, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.
Ayub tengah berjuang menuntut pengembalian tanahnya yang dinilai sudah dirampas oleh perusahaan perkebunan, sehingga ditangkap polisi.
”Ayub ditangkap secara paksa pada hari Selasa, 22 Februari 2018 pukul 24:00 WIB, saat sedang tidur kantor Agra Kalbar, Jalan Ampera raya komplek villa mega mas No 12 B. Dia ditangkap 6 personel Polres Mempawah berpakaian preman dan diantar Ketua RT tanpa menjelaskan identitas diri maupun membawa surat perintah penangkapan,” jelas Ali.
Keesokan hari, Jumat (23/2), rekan-rekan Ayub baru mengetahui keenam orang berpakaian preman itu adalah polisi setelah menanyakan hal tersebut kepada ketua RT.
Setelahnya, Wahyu dan Esti Kristianti dari Pusat Bantuan Hukum Kalimantan Barat (PBHK) mendatangi Mapolres Mempawah untuk meminta klarifikasi penangkapan. Namun, keduanya tak diizinkan polisi menemui Ayub.
Ali mengungkapkan, surat penahanan Ayub baru dikeluarkan polisi sehari setelah yang bersangkutan dibawa paksa.
Berita Acara Penahanan juga hanya dititipkan polisi kepada ketua RT di Patok 30 Dusun Melati, Desa Olak-olak pada hari yang sama.
”Namun, ada kejanggalan dalam surat perintah penahanan dan berita acara. Sebab, tandatangan Ayub berbeda dengan tandatangannya di Kartu Keluarga,” terangnya.
Sebelum dibawa paksa tanpa alasan jelas, Ayub mendapat panggilan sebagai tersangka kasus pencurian pada 2 Februari oleh Polsek Kubu.
Ayub dituduh mencuri tandan buah sawit di tanah yang disengketakan oleh PT Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB) dan PT Sintang Raya.
Lahan seluas 64 Ha yang terletak di Patok 30 Dusun Melati itu, merupakan lahan garapan 32 orang warga. Mereka menggarap lahan itu secara kolektif sejak tahun 2005.
Tahun 2008, PT CTB baru mulai masuk Desa Olak-Olak dan menawarkan kerja sama dengan warga penggarap, untuk membuat kebun plasma sawit. Merkea juga dijanjikan mendapat ganti rugi tanam tumbuh (GRTT).
Untuk membangun perkebunan, PT CTB mendapat izin lokasi seluas 13. 658, 67 hektare di Desa Olak-olak.
PT CTB mulai melakukan penanaman pada tahun 2009. Namun, mereka ternyata berkonflik dengan PT Sintang Raya karena tumpang tindih perizinan lokasi.
Akhirnya, kedua perusahaan besepakat berdamai, sehingga lahan seluas 801 ha di Desa Olak-Olak diserahkan kepada PT Sintang Raya.
”Penyerahan itu, tanpa terlebih dahulu memberitahukan dan meminta persetujuan warga desa sebagai mitra atau petani Plasma. Warga protes dan menolak menyerahkan lahannya kepada PT Sintang Raya,” jelas Ali.
Penolakan tersebut dilakukan melalui cara mengambil alih kembali serta mengelola lahan seluas 64ha garapan mereka yang dikerjasamakan dengan PT CTB sebagai mitra plasma tahun 2013.
Sejak saat itu hingga 2017, warga merawat dan mengelola lahan tersebut secara kolektif dan mempertahankannya dari upaya pengambilan paksa PT Sintang Raya. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh warga.
”Sepanjang tahun 2013 -2017, terdapat konflik warga dengan PT Sintang Raya, dan terjadi berbagai aksi pelanggaran HAM. Sebanyak 43 warga desa dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri. Padahal, mereka panen hasil tanaman di lahan mereka. Puluhan lainnya mengalami intimidasi, teror bahkan tindak kekerasan,” ungkap Ali.
Peristiwa paling tragis terjadi pada tahun 2016, ketika warga diteror sehingga terpaksa mengungsi ke kantor perwakilan Komnas HAM Kalbar, karena merasa tidak aman lagi tinggal dikampung halaman.
Hingga kekinian, tidak ada upaya serius pemerintah menyelesaikan konflik tersebut. Padahal, warga sudah mengadukan hal itu kepada Bupati Kubu Raya, Gubernur Kalimantan Barat, Komnas HAM, hingga Kantor Staf Peresiden (KSP), sehingga kriminalisasi kembali terjadi dan menimpa Ayub.
”Karenanya, AGRA mendesak agar aparat segera membebaskan tanpa syarat Ayub. Kami juga mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan konflik agraria itu dengan keputusan yang berpihak kepada warga,” tegasnya.
Untuk diketahui, jurnalis Suara.com tengah berupaya meminta konfirmasi dari aparat polres dan kejari setempat mengenai kasus Ayub. Namun, hingga berita ini diunggah, konfirmasi dari kedua institusi tersebut belum didapat.