Suara.com - Usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional perlu disikapi dengan proporsional. Usulan perubahan itu untuk mengakomodir komunitas pers lainnya.
Hal itu merupakan pernyataan bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). AJI dan IJTI mengajukan usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari.
Usulan sudah disampaikan awal Februari 2018 lalu ke Dewan Pers dengan menggelar pertemuan terbatas pada 18 April 2018 di lantai 7 Gedung Dewan Pers.
Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Di antaranya wakil dari AJI, IJTI, Persatuwan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam pertemuan itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.
Baca Juga: Siang Ini Dewan Pers Buka-bukaan soal Wacana Perubahan Hari Pers
“Dalam pertemuan 18 April 2018 dan berlangsung selama 3 jam itu, wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI tersebut. Ada sejumlah pandangan atas usulan itu. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu,” papar Ketua AJI Indonesia Abdul Manan dalam siaran persnya, Jumat (20/4/2018).
Revisi HPN ini sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya mempertanayakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN. Mereka juga mendesak PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu. Intinya PWI daerah tidak setuju HPN ganti tanggal.
Terkait itu, AJI dan IJTI meminta seluruh komunitas pers bijak dan obyektif. AJI dan IJTI merasa keinginan ubah HPN untuk menjawab aspirasi dari anggota mereka yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN.
Berikut pernyataan AJI-IJTI menyikapi kontroversi usulan perubahan HPN:
Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan obyektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN. Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara yang prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN ini.
Baca Juga: TEMPO Akan Minta Maaf ke FPI Jika Diminta Dewan Pers
AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah ini dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian kasus ini dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung, misalnya. Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap bahwa kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers. HPN itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang No 21 tahun 1982 ini sudah tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.