Suara.com - Tim Advokasi Rakyat untuk Demokrasi mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang nomor 2 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Selasa (17/4/18). Mereka menilai UU itu mengancam demokrasi.
Gugatan itu sudah diajukan dan mendapatkan nomor gugatan1776/PAN.MK/IV/2018. Dokumen permohonan diterima oleh staf pendaftaran MK SDRI Aqmarina Rasika pada hari yang sama pada pukul 10.42 WIB kemarin.
Keempat serikat buruh yang mengguhat adalah KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), dan SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Kuasa hukum mereka dari LBH Jakarta, LBH Pers, dan IMPARSIAL.
Mereka menggugat 3 pasal di UUMD3 itu. Di antaraya Pasal 73 ayat 3 sampai 6, Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 Undang-Undang nomor 2 tahun 2018 dengan batu uji Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20a ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d ayat (1), Pasal 28e ayat (2), Pasal 28e ayat (3) dan Pasal 28i ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Baca Juga: MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi UU MD3
Mereka mempermasalahkan pemanggilan paksa dan upaya paksa yang dilakukan DPR dinilai bertentangan dengan fungsinya sebagai lembaga legislatif dan konsep negara hukum. Selain itu ketiadaan standar kejelasan perkara seperti apa yang memungkinkan warga negara dapat dipanggil secara paksa dan disandera.
“Hal ini berpotensi melanggar hak atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana mana diamanatkan dalam Pasal 28 d ayat (1) UUD 1945. Pemanggilan paksa oleh DPR juga melanggar hak atas persamaan di muka hukum, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,” kata salah satu penggugat dari KASBI, Sunarno, Rabu (18/4/2018).
Alasan lain terdapat kekosongan hukum acara dalam pelaksanaan upaya pemanggilan paksa, yang tercantum dalam revisi UU MD3. Hal ini berpotensi melanggar hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Lainnya, rumusan tentang merendahkan kehormatan DPR berpotensi melanggar hak atas kebebasan berpendapat, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28 c ayat (2), 28 e ayat (2) dan (3). Sementara, terkait Majelis Kehormatan, langkah hukum yang diambil Dewan akan bertentangan dengan fungsinya sebagai lembaga legistatif dan konsep negara hukum.
“Kelima, prosedur izin pemanggilan dan pemeriksaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat bertentangan dengan prinsip kesetaraan dimuka hukum (equality before the law) dan bersifat diskriminatif, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), 28d ayat (1) dan 28i ayat (2) Undang-Undang dasar 1945. Selain itu, prosedur izin untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR juga bertentangan dengan prinsip independensi peradilan (independence of judiciary), sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” tambahnya.
Tim Advokasi Rakyat untuk Demokrasi menilai bahwa UU MD3 berpotensi besar mengebiri supremasi hukum dan memotong akses warga terhadap kebebasan berpendapat.
Baca Juga: Hari Ini MK Gelar Sidang Lanjutan Uji Materi UU MD3
Dua faktor tersebut membahayakan demokrasi yang susah payah dibangun bersama sebagai cita-cita Negara Republik Indonesia, yang tertuang dalam sila keempat Pancasila, yaitu ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.