KPK Bantah Langgar HAM dalam Penangkapan Eks Wali Kota Kendari

Selasa, 17 April 2018 | 22:39 WIB
KPK Bantah Langgar HAM dalam Penangkapan Eks Wali Kota Kendari
Calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun, dan anaknya, Walikota Kendari, Adriatma Dwi Putra, langsung ditahan oleh KPK, Kamis (1/3/2018). (suara.com/Nikolaus Tolen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah telah melanggar hukum dan hak asasi manusia dalam kasus dugaan suap dengan tersangka mantan Wali Kota Kendari, Asrun.

Dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/4/2018), Asrun menegaskan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka tak sah dan bahwa KPK telah melanggar hukum serta HAM dalam kasusnya.

"Termohon melakukan tangkap tangan terhadap tersangka yang didasari sprinlidik tanggal 24 November 2017. Dalam proses penyelidikan, termohon mendapatkan fakta-fakta indikasi penerimaan hadiah atau janji oleh pemohon," kata juru bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (17/4/2018).

Febri juga mengatakan bahwa tindakan termohon membawa pemohon merupakan tindakan sah dan berdasar atas hukum. Hal itu terkait dengan Pasal 1 angka 19 KUHAP tentang definisi tertangkap tangan.

"Dan bahwa sesuai pasal 18 ayat (2) KUHAP dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah penangkapan," katanya.

Sementara terkait pernyataan Asrun yang menilai penetapan tersangka terhadap dirinya tidak sah, lantaran belum ditemukannya dua alat bukti yang sah juga dibantah KPK.

Menurut KPK dalil yang disampaikan pemohon adalah keliru dan tidak beralasan. Sebab, sesuai Pasal 6 UU KPK bahwa KPK mempunyai tugas melakukn penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dan hal itu diatur lebih Yang dalam pasal 39 ayat (1) UU KPK.

"Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK, menyatakan bahwa penyelidikan tidak hanya bertujuan untuk menemukan peristiwa pidana tetapi lebih jauh dari itu, penyelidikan sudah bertujuan untuk menemukan bukti permulaan yang sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti," jelas Febri.

Sementara terkait penahanan yang disebut tersangka tidak sah, KPK menegaskan bahwa penahanan tindakan sah dan berdasar hukum. Febri mengatakan penahanan merupakan salah satu kewenangan pro justicia sejak penyidikan sampai persidangan terhadap tersangka/terdakwa yang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim.

"Pemohon tertangkap tangan bersama-sama pihak lainnya. Selanjutnya, setelah dilakukan penangkapan terhadap diri pemohon secara tertangkap tangan, termohon segera melakukan permintaan keterangan/pemeriksaan dalam tahap penyelidikan, kemudian termohon meningkatkan pemeriksaan ke tahap penyidikan dan melakukan penahanan terhadap diri pemohon," katanya.

Menurut Febri sesuai Pasal 21 KUHAP, penyidik telah melakukan penahanan terhadap pemohon dengan telah memenuhi syarat penahanan subyektif terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.

Dalam kasus ini, KPK mengungkap adanya permintaan dari Wali Kota Kendari Adriatma untuk dana bantuan kampanye Asrun yang akan maju sebagai calon Gubernur Sultra. Asrun merupakan mantan Wali Kota Kendari dua periode, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017, sebelum digantikan anaknya.

Dana bantuan kampanye itu dimintakan kepada Dirut PT SBN Hasmun Hamzah. PT SBN, disebut KPK, merupakan rekanan kontraktor jalan dan bangunan di Kendari sejak tahun 2012.

Pada Januari 2018, PT SBN juga memenangi lelang proyek jalan Bungkutoko-Kendari New Port senilai Rp60 miliar. Hasmun lalu memenuhi permintaan itu dengan menyediakan uang total Rp2,8 miliar.

KPK kemudian menetapkan ketiganya beserta mantan Kepala BKSAD Kendari Fatmawati Faqih sebagai tersangka. Peran Fatmawati ini diungkap sebagai orang kepercayaan Asrun yang menjalin komunikasi dengan pengusaha.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI