Suara.com - Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP Setya Novanto mengaku sempat merenung kembali segala hal yang terjadi dengan dirinya, terutama yang berkaitan dengan kasusnya.
Bermula dari aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memindahkannya secara paksa dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menuju ke rumah tahanan.
"Saya masih ingat pada malam tanggal 19 November 2017, KPK memindahpaksakan saya dari RSCM ke Rutan KPK, padahal kondisi saya waktu itu masih dalam keadaan kurang sehat dan tidak memungkinkan untuk pindah," katanya saat membacakan pledoi di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Setnov mengaku saat itu dirinya sangat sedih. Bahkan dia sempat mempertanyakan sikap negara yang dinilainya begitu sadis memperlakukan warganya.
Baca Juga: Kutip Ucapan Aris Budiman, Pengacara Setnov: KPK Tak Profesional
"Saya juga ingat bagaimana sedihnya saya waktu itu, hingga dalam lubuk hati yang paling dalam terbersit (pertanyaan) 'Apakah setega ini negara terhadap saya?' memaksa dan menahan warga negaranya bahkan dalam keadaan sakit pun," kata Setnov.
Masih menurut pengakuan Setnov, dalam ketidakberdayaan di dalam tahanan, dia pun hanya bisa merenung.
"Saya banyak merenung dan berpikir tentang apa yang terjadi selama ini. Saya dituduh telah melakukan korupsi pengadaan proyek e-KTP, saya juga telah dituduh merekayasa dan sengaja menabrakkan diri dalam kecelakaan di kawasan Permata Hijau pada tanggal 16 November 2017," katanya.
Untuk kasus e-KTP, menurut Setnov lagi, dirinya bahkan disebut sebagai pelaku utama. Dan ternyata tidak hanya itu, dia juga dituduh sebagai aktor dalam aksi korupsi dalam proyek pemerintah.
"Tuduhan-tuduhan tersebut kemudian disebar begitu masifnya di berbagai media, baik cetak maupun elektronik, bahkan meme-meme berkonten pelecehan dan penghinaaan juga bertebaran di media sosial," tutur Setnov.
Baca Juga: Kala Setnov Mengiba Pengembalian Aset ke Majelis Hakim
Tidak hanya media, masyarakat pun menurut Setnov, mulai bereaksi dengan mencela dan mencaci dirinya dengan membabi buta.
"Seakan saya adalah manusia paling hina di negeri yang saya cintai ini. Bukan saya tidak terima, tapi saya menderita karena istri dan anak-anak saya harus turut menanggung itu semua," tutupnya.