Suara.com - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Setya Novanto dengan pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. Terhadap tuntutan pidana tambahan, khususnya terkait pencabutan hak politik, lelaki yang akrab disapa Setnov tersebut mengaku keberatan.
Setnov juga dituntut diwajibkan membayar uang pengganti sebesar USD7,4 juta dan dan hak politiknya dicabut selama 5 tahun pasca menjalani masa hukuman. Setnov meminta majelis hakim agar mempertimbangkannya atau langsung dikesampingkan.
"Pidana tambahan yang mencabut hak politik selama 5 tahun ini, supaya dapat dipertimbangkan oleh majelis hakim yang mulia atau setidaknya dapat dikesampingkan," katanya saat membacakan pledoi di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Setnov mengatakan untuk berkarir di dunia politik dia memulainya dari bawah hingga kemudian berada di posisi tertinggi menjadi Ketua DPR RI. Katanya, itu sudah berlangsung hingga selama kurang lebih 20 tahun.
Baca Juga: Menyesal, Setnov Sebut Johanes Marliem Menjebaknya
"Saya hampir 20 tahun berkarier politik, dimulai dari tingkat yang paling bawah hingga menjadi Ketua DPR RI. Tentu (pencabutan hak politik) tidak relevan, supaya dapat dipertimbangkan oleh majelis hakim yang mulia," kata Setnov.
Oleh karena itu, dia menyampaikan permohonan maafnya kepada konstituennya yang berada di daerah pemilihan 2 di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia berharap, agar masyarakat yang telah memilihnya untuk maju menjadi anggota DPR dapat memaafkannya.
"Kepada konstituen saya di daerah pemilihan II provinsi Nusa Tenggara Timur, yang telah memilih saya sebagai utusan dari Provinsi NTT, mohon dibukakan maaf yang selebar-lebarnya.