Suara.com - Setelah anak satu-satunya meninggal, suami istri di Tiongkok yang sudah berusia tua membuat keputusan ekstrem yang melawan hukum: membekukan benih mereka agar bisa mendapat buah hati melalui program bayi tabung.
Tapi, sebelum benih itu lahir, keduanya tewas.
Pasutri itu bernama Shen Jie dan Liu Xi, mantan warga Yixing, Provinsi Jiangsu. Keduanya tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 20 Maret 2013.
Shen dan Liu tewas mengenaskan lima hari sebelum memenuhi jadwal transplantasi benih mereka ke perempuan yang bersedia menjadi "cawan" bagi buah hati mereka.
Baca Juga: Bareskrim Periksa Facebook Pekan Depan
Setelah pasutri malang itu meninggal, seperti dilansir Beijing News, Selasa (10/4/2018), orang tua Shen dan Liu hendak mengambil embrio cucu mereka.
Namun, mereka mendapat kendala hukum. Sebab, Tiongkok tak memunyai peraturan hukum yang membolehkan embrio seseorang diambil oleh bukan induknya.
Kendala itu juga membuat Rumah Sakit Nanjing Gulou—tempat embrio itu dibekukan—kebingungan.
Sebab, tak pula ada peraturan yang membolehkan mereka membuang benih seseorang. Mereka baru dibolehkan membuang embrio pasien kalau ada RS lain yang mau menampungnya.
Alhasil, orang tua pasutri tersebut menggugat ke Pengadilan Rakyat Yixing, agar bisa mendapatkan hak atas embrio tersebut.
Baca Juga: Cuaca Ekstrem, Puncak Gunung Semeru Bersalju
Namun, gugatan itu ditolak. Alasannya, “embrio sudah dianggap sebagai makhluk hidup, sehingga dalam etika hukum komunis, tak bisa dipindahtangankan atau diwariskan layaknya barang.”
Kedua orang tua mendiang pasutri itu tak mau berputus asa. Mereka mengajukan petisi banding ke Pengadilan Menengah Rakyat Wuxi.
Tuntutan mereka ternyata dipenuhi pengadilan, atas dasar “Embrio yang ditinggalkan Shen dan Liu adalah satu-satunya pembawa garis darah kedua keluarga. Embrio itu juga diharapkan bisa menjadi penghibur orangtua pasutri tersebut.”
Keputusan itu diterbitkan pada tahun 2014, dan Shen Xinnan—ayah Shen Jie—meminta Rumah Sakit Nanjing Gulou untuk menyerahkan embrio cucunya.
Namun, pihak RS tak mau menyerahkan embrio itu kepada individu karena terganjal peraturan hukum kesehatan.
“Karena tak ada RS lain di Tiongkok yang mau menerima embrio cucuku, maka kami mencari di luar negeri. Dua tahun kemudian, 2016, kami baru mendapat informasi bahwa RS di Laos mau menerima embrio itu untuk ditransplasikan ke seorang perempuan,” terangnya.
Menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Tiongkok tahun 2001, program bayi tabung dilarang kalau tak mengikuti etika dan program keluarga berencana.
Dengan kata lain, embrio milik Shen dan Liu itu tak bisa ditransplantasikan karena mereka sudah meninggal dunia dan tak masuk program keluarga berencana.
Karenanya, orang tua pasutri itu terpaksa harus sembunyi-sembunyi mencari agen bayi tabung di luar negeri.
“Aku telah menghubungi puluhan agen bayi tabung, sebelum bertemu Lui Baojun, yang menjalankan agensi transplasi embrio di Laos,” terang Shen Xinnan.
Atas saran Liu, Shen memilih sebuah rumah sakit di Laos untuk menerima embrio dan ditransplasikan ke rahim seorang perempuan yang mau dibayar.
Komersialisasi rahim perempuan untuk program bayi tabung di Laos adalah tindakan legal. Akhirnya, setelah dihadapkan pada 20 perempuan yang bersedia menjadi induk semang embrio, mereka memilih salah satunya.
Pada 9 Desember 2017, embrio mendiang pasutri itu benar-benar terlahir dari rahim perempuan Laos. Embrio itu terlahir di Rumah Sakit Guangzhou, Provinsi Guangdong, selatan Tiongkok.
Kedua neneknya bersepakat menamakan bayi laki-laki yang lahir setelah 4 tahun orang tuanya meninggal itu sebagai “Tiantian”. Secara harfiah, “Tiantian” berarti “manis”.
“Tiantian ditakdirkan terlahir sedih dan penuh perjuangan di dunia. Dia tak memunyai orang tua. Tapi, kami akan mengatakan kebenaran itu kepadanya, suatu hari nanti. Agar dia tahu, bahwa dia datang dengan kesedihan di dunia, tapi membuat semua bahagia atas kehidupannya,” tandasnya.