Dosen STF Driyarkara: Rocky Gerung Tak Paham Beda Kanon dan Fiksi

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 11 April 2018 | 18:54 WIB
Dosen STF Driyarkara: Rocky Gerung Tak Paham Beda Kanon dan Fiksi
Dosen Departemen Filsafat UI Rocky Gerung di ILC, TV One, Selasa (10/4/2018). [bidik layar TV One]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rocky Gerung, dosen pengampu mata kuliah Metodologi dan Filsafat Politik di Departemen Filsafat Universitas Indonesia, mendapat kecaman dari publik.

Itu setelah Rocky menyatakan semua kitab suci agama adalah fiksi. Pernyataannya itu ia ungkapkan ketika menjadi bintang tamu acara gelar wicara di stasiun televisi swasta nasional, Selasa (10/4/2018) malam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi fiksi diartikulasikan sebagai cerita rekaan seperti roman atau novel. Pada artinya yang kedua, fiksi adalah rekaan; khalayan; tidak berdasarkan kenyataan.

Sementara pada artinya yang ketiga di KBBI, fiksi adalah pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.

Baca Juga: Ditabrak Model Cantik Tiara Ayu, Kini Sebagian Kaki Irfan Putus

Namun, dalam acara gelar wicara bertema "Jokowi Prabowo Berbalas Pantun" tersebut, Rocky menjelaskan fiksi bukan kata bermakna negatif.

"Fiksi adalah energi yang dihubungkan dengan telos. Itulah sifat fiksi, dan hal tersebut baik. Fiksi berbeda dengan fiktif yang bermakna buruk. Kitab suci adalah fiksi atau bukan? Kalau saya memakai arti bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi. Menuntun kita menuntun semua berpikir imajinatif. Tapi istilah itu kekinian dibunuh oleh politikus," jelasnya.

Kritik

Dr Vitus Rubianto Solichin, dosen pengajar mata kuliah Hermeneutika Alkitabiah Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengkritik argumentasi Rocky.

Ia menuturkan, definisi ”kitab suci” maupun ”fiksi” yang dipahami Rocky lebih dulu harus dikaji agar tak menuai kesalahpahaman.

Baca Juga: Kala Kekecewaan Novel Baswedan Tak Terbendung Lagi

Sebab, dalam filsafat agama, terutama yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt—teori sosial kritis yang berbasis pada pemikiran Marxisme Hegelian—juga berlaku diktum tidak ada satu pun teori yang ”bebas nilai”.

Dengan kata lain, setiap argumentasi seseorang pastilah memunyai tujuan ideologis tertentu.

”Jadi, yang harus dipertanyakan lebih dulu adalah, apakah yang dimaksud ’kitab suci’ di situ? Kedua, apa yang dipahami Rocky dengan ’fiksi’? Sebab, tidak ada teori yang ’bebas nilai’, begitu menurut Sekolah Frankfurt. Kiranya, ujaran Rocky memunyai landasan ideologis tertentu, seperti pertanyaan Anda sebagai jurnalis, juga punya maksud tertentu,” tuturnya kepada Suara.com, Rabu (11/4/2018) sore.

Ia menuturkan, secara umum, dalam kajian penafsiran teks-teks yang dianggap suci secara filosofis maupun teologis, seorang penafsir ataupun komentator diharuskan menjunjung tinggi setiap tradisi suci.

Sebabnya, sambung penulis buku “La Figura del Seme e il Suo Compimento” (2012) ini, beragam tradisi pemikiran, retorika, maupun logika umum (Barat) belum tentu cocok untuk menganalisis teks-teks kitab suci.

”Setiap teks, begitu juga kitab suci, memunyai konteksnya sendiri-sendiri. Karenanya, kalaupun ingin menganalisis suatu teks suci, maka acuannya yang utama haruslah teks-teks kitab suci itu sendiri,” terangnya.

Karena itulah, doktor lulusan Pontificia Universitas Gregoriana, Roma, Italia, itu mempertanyakan dasar ideologis Rocky yang menyebut ”kitab suci adalah fiksi”.

”Maaf, menurut saya, dia justru bisa jadi tidak menghargai ‘tradisi’ dengan tidak membedakan ‘kanon kitab suci’ dan buku fiksi,” kata penulis buku "Paradigma Asia, Pertautan Kemiskinan & Kereligiusan..." (1997) ini.

Ia mengakui, terdapat unsur mitologis—gaya penulisan yang mengandung konsepsi tentang hal-hal yang suci di suatu kebudayaan—dalam kitab suci.

Tapi, terusnya, unsur mitologis itu tak bisa secara serampangan direduksi menjadi sebuah fiksi atau dongeng.

”Bahwa ada unsur mitologis dalam setiap tradisi religius tidak dipungkiri. Tetapi, menyederhanakan soalnya dengan menganggap semuanya dongeng, berarti tidak menghargai proses pewarisan iman,” terangnya.

Rubianto memafhumi, pernyataan-pernyataan Rocky tersebut berada dalam konteks percaturan politik nasional, bukan murni untuk mengkaji teks-teks suci.

Namun, sambungnya, sebagai seorang dosen filsafat, Rocky seharusnya melancarkan kritik secara jernih menganai realitas politik.

“Filsafat mengajak kita berpikir kritis dan jernih, bukan mengambang di tengah dunia politik yang sudah tunggang langgang,” tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI