Suara.com - Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, belum bisa membuat standar pengamanan dan kendali mutu mengenai metode Digital Substraction Angiogram (DSA) atau Brain Wash yang dipraktikkan oleh Dokter Terawan Agus Putranto.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Sundoyo, dalam agenda Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR-RI, Rabu (11/4).
Menurut Sundoyo, tugas Kemenkes adalah membentuk komite HTA (Health Technology Assesement) untuk menilai apakah teknologi kesehatan (obat, alat, dan prosedur) medis memiliki manfaat bagi masyarakat.
Namun, tambahnya, tugas itu hanya bisa dilakukan andai PB IDI dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sudah memiliki kesepakatan mengenai metode DSA yang dilakukan Dokter Terawan.
Baca Juga: Bilang 'Kitab Suci adalah Fiksi', Rocky Gerung Tuai Kecaman
"Terkait dengan ranah, itu fungsi dan tugas kolegium, KKI. Pemerintah mengatur standar pengamanan kendali mutu dan kendali biaya.
Dengan begitu, Sundoyo berharapa KKI bisa segera memutuskan apakah DSA sudah diakui sebagai metode medis yang aman atau tidak. "Jika sudah clear, baru masuk ke Pemerintah dan baru dibuat standar pelayanan."
Selanjutnya, Pemerintah membentuk komite HTA yang terdiri dari sembilan anggota inti. Kesembilan anggotanya terdiri dari satu orang anggota Departemen Kesehatan dan delapan orang profesional dan akademisi di bidang medis.
"HTA adalah proses atau prosedur yang bisa dilakulan oleh Kemenkes, rumah sakit atau organisasi dan industri untuk menilai apakah teknologi kesehatan, entah obat, alat atau suatu prosedur, layak dimasukkan ke paket manfaat," kata Ketua HTA Sudigdo Sastroasmoro.
Nantinya, ada dua aspek yang akan dikaji oleh tim HTA yaitu aspek klinis dan aspek ekonomis.
Baca Juga: Wakapolri Janji Bawa Kasus Miras Oplosan ke Sidang Kabinet