Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berencana menerima kedatangan Special Reporter (Pelapor Khusus) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Hak atas Pangan Prof. Dr. Elver.
Hilal Elver rencananya akan berada di Indonesia selama delapan hari dengan maksud kunjungan kenegaraan (country visit). Di Indonesia Elver akan melakukan dialog dengan lembaga HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI), pemerintahan, masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menilai perwujudan hak atas pangan di Indonesia.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga menyampaikan dalam pertemuan itu, Komnas HAM kemudian menyoroti lemahnya pelaksanaan kebijakan pangan yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan yang menyebutkan istilah kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan yang penuh dengan spirit untuk membangun sistem pangan yang mandiri, sesuai dengan potensi lokal.
Namun dari sisi pelaksanaan, dimensi kedaulatan pangan masih "jauh panggang dari api".
Baca Juga: Tim Pemantau Kasus Novel Komnas HAM Tak Sentuh Penyelidikan Polri
"Selanjutnya, Komnas HAM menyoroti dua aspek dalam pelaksanaan hak atas pangan di Indonesia, yaitu aspek ketersediaan dan aspek aksebilitas," ucap Sandrayati di Gedung Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Selasa (10/4/2018).
Ia mengatakan pada aspek ketersediaan, Komnas HAM memandang produksi pangan nasional stagnan, karena pemilikan petani kecil, konversi lahan meluas, dan pertumbuhan penduduk.
Selain itu, produksi pangan masih belum melampaui konsumsi, karena pertumbuhan penduduk tidak terkendali.
Solusi membangun ketersediaan pangan melalui program Food Estate, seperti Marauke Integrited food dan Energy Estate (MIFEE) justru melahirkan masalah pangan baru suku Malind, kelompok masyarakat adat di Marauke.
Hal yang tak kalah memprihatinkan, lanjutnya adalah aspek ketersediaan yang dibangun Impor. Padahal Indonesia memiliki sumber pangan yang melimpah dan beragam.
Baca Juga: Polda Siap Tampung Laporan Komnas HAM soal Kasus Novel Baswedan
Ketergantungan beras dan gandum telah mendesak Indonesia untuk terus melakukan impor pangan strategis. Dalam jangka panjang, situasi ini dipastikan akan mengikis aspek kedaulatan pangan.
Pada aspek aksebility, Komnas HAM menyoroti kasus gizi buruk dan kematian di Papua. Sejak 2017, terdapat 651 orang menderita gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua.
Sebanyak 72 anak, meninggal dunia, karena menderita campak 66 orang dan gizi buruk 6 orang.
Komnas HAM memandang kasus ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya buruknya fasilitas kesehatan, budaya masyarakat untuk imunisasi dan berobat, sanitasi dan infrastruktur yang terbatas.
Dari aspek aksebilitas, Komnas HAM memandang bahwa 26,58 juta orang (10,12%) hidup dibawah garis kemiskinan.
"Orang miskin masih sulit mengakses bahan pangan yang layak. Kebijakan ekomoni belum mampu mengatasi hal ini secara signifikan," tuturnya.
Ia menambahkan isu lainya yang menjadi sorotan Komnas HAM adalah kelompok rentan dalam urusan pangan dan ekspansi perusahaan di wilayah kelola masyarakat.
"Komnas HAM memandang bahwa beberapa kelompok rentan perlu perhatian khusus dalam mengakses bahan pangan yang layak," ujarnya.
Kelompok rentan tersebut ialah Masyarakat Hukum Adat (MHA), pengungsi Internal (IDPs), pengungsi atau pencari suaka dari luar negeri, masyarakat di daerah terpencil, petani gurem dan penyandang disabilitas.
Lalu, lanjut dia, ada pula isu lain yang disorot Komnas HAM adalah perdagangan bebas dan liberalisasi pertanian, penguasan paten atas benih serta ekspansi perusahaan ke dalam wilayah kelola masyarakat.
"Ketiga isu tersebut berpengaruh signifkan terhadap terputusnya akses masyarakat, utamanya petani terhadap pangan dalam jangka panjang," katanya.
Komnas HAM menyampaikan enam butir rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, ujar Sandra, mengintegritaskan HAM khususnya hak atas pangan dalam kebijakan pangan, gizi dan pertanian.
Kedua melakukan harmonisasi peraturan bidang pangan, pertanian, kesehatan, dan kependudukan, sehingga penangganan masalah pangan berlangsung secara terpadu dan integral.
"Ketiga melaksanakan reforma agraria dengan penyediaan lahan bagi petani gurem," katanya.
Keempat, mendorong pemerintah untuk menggeser prioritas pembangunan infrastruktur dari ibukota ke wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau.
Kelima memasukkan kelompok-kelompok rentan kedalam skema kebijakan pangan dan gizi.
Keenam, mendorong dibentuknya regulasi yang mengatur penghormatan HAM oleh perusahaan yang sejalan dengan prinsip panduan PBB untuk bisnis dan HAM (United Nation Guilding Principles on Business and Human Right).
"Komanas HAM juga menyampaikan beberapa rekomendasi untuk perusahaan," sambung Sandra.
Pertama, menghormati HAM dalam seluruh rantai pasokannya sebagaimana ditegaskan dalam prinsip-prinsip panduan PBB untuk bisnis dan HAM. Kedua, melakukan uji tuntas HAM untuk mengidentifikasi resiko dan dampak HAM dalam operasinya.
"Ketiga, membuka ruang pengaduan ruang bagi masyarakat lokal yang rentan terhadap dampak operasi perusahaan," tuturnya.