Suara.com - “…Cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya,” tutur Sukmawati mengakhiri deklamasi puisinya, “Ibu Indonesia”, Rabu pekan lalu. Hadirin riuh, bertepuk tangan, menghormati puisi dan anak keempat Bung Karno dari istri ketiganya, Fatmawati.
Tak sampai sepekan setelah dideklamasikan, keriuhan orang-orang mengenai puisi Sukma semakin melenting nyaring. Tapi, keramaian tak lagi tentang penghormatan, melainkan kecaman.
Puisi Sukma dianggap menistakan agama Islam.
Aku tak tahu Syariat Islam//Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah//Lebih cantik dari cadar dirimu. Aku tak tahu syariat Islam//Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok//Lebih merdu dari alunan azan mu.
Baca Juga: Pekerja BKI Di-PHK Tanpa Pesangon, Rini Diminta Turun Tangan
Dua larik dari dua bait puisi gubahan Sukma itulah yang dipersoalkan sejumlah orang. Setelah puas berpolemik di media massa sejak Senin (2/4) awal pekan ini, kelompok yang berseteru melapor ke polisi.
Sukma buru-buru meminta maaf. Sembari menangis, ia mengajukan permintaan maaf kepada publik dalam konferensi pers yang dihelat di Warung Daun, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/4).
Selang sehari, Sukma bersafari menemui sejumlah tokoh, termasuk Ketua Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Ma’ruf Amin. Ia sampai-sampai mencium tangan sang kiai, demi menyatakan kesungguhannya meminta maaf.
Namun, bagi Rahmad, air mata Sukma tak lebih dari “air mata buaya”. Karenanya, Sukma juga dianggap tak bersungguh-sungguh menyesal dan meminta maaf. Alhasil, Rahmad bertekad melanjutkan proses hukum untuk menjera Sukma.
“Meski ‘Bu Suk’ (Sukmawati) sudah memohon maaf dan sudah menangis, dalam tanda kutip air mata buaya, permohonan maaf akan kami terima, tetapi proses hukum tetap jalan. Perlu diingat, permohonan maaf tidak akan menghentikan proses hukum yang akan kami tempuh," tukas Rahmad Imron yang mengampu diri sebagai Ketua FUIB di Bareskrim Polri guna melaporkan Sukma, Kamis (5/4).
Baca Juga: Presiden Akan Datang, Jalan Desa Pasir Suren Mendadak Diaspal
Esoknya, Jumat (6/4), ribuan orang menggelar aksi protes dan menolak puisi Sukmawati di depan kantor Bareskrim Mabes Polri.
Jauh sebelum puisi Sukmawati menjadi polemik, dunia kesusasteraan Indonesia lebih dulu dikejutkan oleh sejumlah karya yang dianggap anti-Islam.
Merle Calvin Ricklefs, sejarawan kontemporer sekaligus “Indonesianis” asal Australia, dalam buku babon berjudul “A History of Modern Indonesia since c.1200” (third edition, Palgrave, 2001), menuliskan karya sastra yang distigma anti-Islam marak pada awal abad ke-19.
“Terdapat gerakan intelektual yang memiliki konten anti-Islam, maupun terkait teosofi. Gerakan-gerakan intelektual semacam itu mengaitkan keadaan Jawa yang tidak bahagia dengan penyebaran Islam, dan mencari revitalisasi melalui persatuan budi ('intelek', di sini berarti pemikiran ilmiah Barat) dan buda (budaya Jawa pra-Islam),” tulis Ricklefs pada halaman 187.
Secara kontras, kala itu, kalangan Islamis di Indonesia—terutama Jawa—mulai menyimpulkan bahwa diperlukan revitalisasi dan “pemurnian” Islam dari pengaruh budaya-budaya Nusantara.
Hal yang sama juga diungkapkan seorang orientalis dan peneliti Islam di Indonesia asal Belanda, Gerardus Willibrordus Joannes Drewes.
Dalam artikelnya yang tersohor, "The Struggle Between Javanism And Islam As Illustrated by The Serat Dermagandul" (Bijdragen tot de Taal—, Land—en Volkenkunde, Deel 122, 3de Afl. 1966, halaman 309-365), Drewes mencatat setidaknya terdapat tiga karya sastra yang dianggap anti-Islam pada abadke-19.
Ketiga karya sastra itu ialah, Babad Kediri, Serat Dermagandul (Darmogandhul), dan Suluk Gatholoco.
Tentang Babad Kediri, dalam artikelnya halaman 317, Drewes menuliskan: "Karya itu kali pertama dipublikasikan pada tahun 1902 oleh PW van den Broek dengan judul 'Babad Kediri'. Isinya bercerita tentang kerugian rakyat Jawa atas masuknya Islam.”
Broek, penyunting babad tersebut, menyebut Babad Kediri dibuat pada tahun 1873.
Tema bahwa masuknya Islam yang merupakan agama tradisi Abrahamik di Timur Tengah merusak kebudayaan dan sistem kepercayaan Jawa, juga terdapat dalam Serat Darmoghandul.
Drewes menuliskan, terdapat perbedaan pendapat mengenai pengarang Serat Darmoghandul.
Ketika kali pertama diterbitkan oleh Penerbit Tan Khoen Swie di Kediri, tahun 1921, Serat Darmoghandul disebut karya Ki Kalamwadi.
Sebagian kalangan menuduh, Ki Kalamwadi adalah nama samaran pujangga besar Ranggwarsito.
"Serat Darmogandhul bercerita tentang ihwal kehancuran kerajaan Majapahit karen masuknya Islam; perbedaan penilaian Raja brawijaya dengan penasihatnya, Sabdapalon tentang Islam. Serat ini terbit dalam bentuk 21 kanto sebanyak 202 halaman," tulis Drewes pada halam 9 artikelnya.
Kanto-kanto Serat Darmoghandul bercerita mengenai kehancuran kerajaan Majapahit; pelarian Raja Brawijaya ke Balambanan; perseteruan Brawijaya dengan Sunan Kalijaga; dan, pernikahan Raden Patah dengan putri Campa yang beragama Islam.
“Juga terdapat perdebatan Brawijaya dengan dua penasihatnya yang tak setuju sang raja masuk Islam, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong.”
Lebih dari setengah kanto Darmogandhul juga menceritakan hal yang buruk Wali Songo terhadap rakyat Jawa.
Misalnya, kisah Sunan Bonang yang mengutuk seorang perempuan dan seluruh warga desa hanya gara-gara tersinggung tak diberi air untuk minum dan berwudu.
Terdapat pula hikayat Sunan Bonang yang kalah berdebat mengenai Tuhan, dengan ratu roh Buta Locaya.
Namun, Drewes menilai syair-syair dalam Serat Darmogandhul lebih "bermartabat" ketimbang Suluk Gatholoco.
Sebab, dalam suluk tersebut, terdapat kalimat-kalimat yang melucuti sifat profetik Nabi Muhammad SAW.
Serat itu bercerita tentang Gatholoco yang mengampu diri sebagai sosok Nabi Muhammad SAW. Namun, dirinya mendekonstruksi seluruh citra sang nabi yang profetik menjadi profan.
”Suluk Gatholoco kali pertama diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1889. Dicetak dan diterbitkan di Surabaya. Tapi, karya itu baru menjadi polemik dan dikecam Muslim Jawa pada tahun 1918, atau 29 tahun setelahnya,” tulis Drewes halaman 7.
Kemarahan umat Muslim Jawa itu bermula ketika surat kabar Djawi Hisworo, terbitan Serikat Islam afdeling Surakarta, memuat artikel yang menggambarkan Nabi Muhammad seorang pemadat dan penyuka minuman keras.
Artikel yang menyulut amarah itu dibuat oleh Djojodikoro. ”Demi berjaga-jaga, Martadarsana, pemimpin redaksi surat kabar itu, sebenarnya sudah menuliskan catatan tambahan agar para pembaca memahami hakikat kritik sosial dalam artikel Djojodikoro tersebut.”
Namun, massa sudah bergejolak. Djawi Hisworo dianggap menistakan agama, dan Suluk Gatholoco dikecam sehingga tak lagi diterbitkan secara terang-terangan.
Indonesianis asal Amerika Serikat, Benedict Anderson, yang memublikasikan Suluk Gatoloco dalam bahasa Inggris di jurnal "Indonesia" Nomor 32 Oktober 1981 dan Nomor 33 April 1982, juga menyinggung mengenai protes tersebut pada kata pengantarnya.
Ben Anderson menuturkan, penerbitan artikel Djojodikoro berdasarkan Suluk Gatholoco itu juga membuat friksi antara Muhammadiyah yang berkembang di Yogyakarta dengan Sarekat Islam di timur Jawa.
”Selain friksi itu, ada pula yang menyebut Suluk Gatholoco sebenarnya dibuat oleh kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan kekuatan elite di Indonesia,” tulis Ben pada halaman 110.
Sementara Drewes menyebutkan, gara-gara artikel tersebut, HOS Cokroaminoto, pemimpin tertinggi Sarekat Islam, membentuk ”Tentera Kandjeng Nabi Muhammad” dan mengobarkan semangat demonstrasi di 42 daerah Jawa.
”Tapi, aksi Tjokroaminoto itu dinilai sebagai langkahnya untuk mengimbangi faksi kiri Sarekat Islam yang berpusat di Semarang. Tjokroaminoto menggunakan isu Suluk Gatholoco untuk menyaingi popularitas Semaun, pemimpin komunis Islam SI Semarang,” tulis Drewes pada halaman 315.
Hikayat Ki Pandji Kusmin
Setelah Indonesia merdeka, polemik karya sastra yang dicap anti-Islam juga pernah terjadi. Uniknya, peristiwa itu terjadi setelah Partai Komunis Indonesia—yang kerapkali dituduh anti-Islam—telah dibubarkan oleh penguasa Soeharto.
Tahun 1968, dua tahun setelah tragedi G30S, Indonesia digemparkan oleh sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul “Langit Kian Mendung” yang diterbitkan dalam Majalah Sastra Th VI No 8, Edisi Agustus 1968.
Cerpen tersebut berisi kritik sosial terhadap korupsi di Indonesia. Dalam narasinya, si pengarang menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh sentral.
Diceritakan, Muhammad SAW yang ditulis sebagai “pensiunan nabi“ merasa bosan hidup di surga sehingga memutuskan menjenguk Bumi. Tapi, ia mendapati banyak perubahan yang tak pernah diperkirakan dirinya saat masih hidup.
Dalam narasi, penulis cerpen itu menceritakan banyak tokoh-tokoh profetik dalam nuansa profan yang kental. Alhasil, cerpen tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap agama.
Tapi, penulis cerpen tersebut tak diketahui. Sebab, si pengarang hanya mencantumkan nama pena, yakni “Ki Pandji Kusmin”.
Hans Bague (HB) Jassin, pemimpin redaksi Majalah Sastra lantas dihadapkan ke muka pengadilan. Oleh hakim, sang sastrawan besar Indonesia itu didesak untuk membuka jati diri Ki Pandji Kusmin yang membuat cerpen tersebut.
Namun, Jassin berkukuh memegang kode etik jurnalisme, sehingga tak mau memberitahukan siapa nama sebenarnya Ki Pandji Kusmin.
Karena tak mau menjadi kasus berkepanjangan yang bisa “merongrong” kekuasaan Orde Baru, majelis hakim memvonis HB Jassin satu tahun penjara dengan masa percobaan dua bulan.
Jassin menerima vonis tersebut, dan harus menanggung stigma banyak pihak sebagai orang yang ikut menistakan agama. Tapi, diam-diam, banyak kalangan yang menyimpan kegundahan dan ketidaksetujuan atas vonis hakim tersebut.
Hingga Jassin wafat tahun 2000 silam, ia tetap bungkam. Jati diri sebenarnya Ki Padji Kusmin tetap menjadi rahasia yang dibawa dirinya hingga liang lahat.