Pengungsi Somalia di Jakarta, Mereka Terpaksa Menjadi Pelacur

Senin, 02 April 2018 | 17:31 WIB
Pengungsi Somalia di Jakarta, Mereka Terpaksa Menjadi Pelacur
Pengungsi Somalia di Mogadishu, Januari 2018. [AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gerombolan teroris Al Shabaab memburu mereka ketika masih berada di Somalia. Sindikat perdagangan manusia menyelundupkan mereka ke Indonesia. Kini, di belantara beton Jakarta, mereka bertahan hidup sebagai pelacur.

Nimo, pengungsi asal Somalia, menangis sembari menceritakan hikayat dirinya dan ketiga buah hatinya yang justru semakin berkesusahan di Jakarta.

“Kehidupanku dan tiga anak-anakku justru semakin sulit di Jakarta, daripada di Somalia yang dilanda perang,” tutur Nimo, Senin (2/4/2018)

“Satu-satunya caraku untuk bertahan hidup dan menghidupi tiga anak-anakku adalah menjadi pelacur,” kata Nimo, terisak.

Baca Juga: Wasekjen PPP Minta Prabowo Bongkar Sosok Elite Bermental Maling

Sewaktu usianya belum genap 32 tahun seperti saat ini, Nimo memutuskan membawa lari anak-anaknya dari Somalia demi kehidupan yang lebih baik.

Keputusan itu sulit, tapi harus dilakukannya, setelah gerombolan Al Shabaab merajam—hukuman pidana dilempari batu sampai mati—adik perempuannya.

Oleh sindikat perdagangan manusia, Nimo dan buah hatinya diselundupkan ke luar. Mereka menghabiskan 10 hari perjalanan hingga sampai ke Indonesia.

Sebelum tiba di Indonesia, Nimo ditransitkan di Dubai Uni Emirat Arab, Kuala Lumpur Malaysia, berlayar melintasi Selat Malaka, hingga dititipkan di bus dalam 2 hari perjalanan menuju Jakarta.

Perjalanan panjang sekaligus melelahkan itu, ditempuh Nimo tahun 2015.

Baca Juga: Polisi Setop Kasus Depe Vs Petugas TransJakarta

Sesampainya di Indonesia, Nimo mengajukan permohonan bantuan kepada sejumlah lembaga nirlaba dan Komisioner Tinggi PBB untuk urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees; UNHCR).

Nahas, semua permohonan bantuan yang diajukan Nimo ditolak. Tak ada perlindungan, uang, pekerjaan, tempat tinggal, untuknya dan anak-anak. Nimo limbung.

Sebaliknya, ia hanya diberi kuliah tentang hukum  Indonesia dan risiko kesehatan kalau melakukan aktivitas prositusi.

"Tidak ada harapan. Aku punya anak dan aku akhirnya menjadi pelacur. Ini benar-benar kehidupan yang buruk. Ini jauh lebih sulit daripada Somalia," ujarnya.

Persoalan Nimo tak terhenti di situ. Setelah secara sembunyi-sembunyi menjadi pelacur, komunitas pengungsi tempatnya bersosialisasi mengetahui perihal pekerjaannya tersebut.

Nimo lantas diburu oleh komunitas pengungsi Somalia. Sejumlah orang Somalia dari kalangan konservatif juga mengancam membunuhnya.

"Aku ingin berhenti, tapi aku tak punya pilihan. Kalau tidak menjadi pelacur, tak ada makanan untuk anak-anakku,” terangnya.

"Aku tidak pernah membayangkan kehidupan ini sebelumnya, terpaksa menjadi pelacur, dan sering dipukuli laki-laki.”

Kekerasan Seksual

Suad, perempuan pengungsi Somalia yang juga berada di Jakarta, menegaskan dirinya tetap tegar dan memilih untuk tidak melacurkan diri meski hidup kepayahan.

Namun, itu bukan berarti Suad bisa dihormati sebagai perempuan di kalangan komunitas pengungsi maupun “kalangan luar”. Ia justru menjadi objek pelecehan seksual.

Usia Suad belum menginjak kepala tiga puluh. Persisnya, baru berusia 27 tahun. Ia tinggal di jalan sempit di dekat sebuah pusat perbelanjaan Jakarta. Di sana pula ia kerap dilecehkan.

Laki-laki pengungsi Somalia biasanya memaksa Suad maupun perempuan lain untuk pergi bersama demi bisa berhubungan seksual.

Tak hanya pengungsi Somalia, Suad menuturkan pelecehan juga dilakukan orang-orang asing yang berada di Jakarta.

“Ketika kami tidur di jalan, pengusaha Afrika Barat datang. Mereka mengancam kami dan menyentuh kami. Sedangkan kami, tak mampu menghentikan mereka,” tuturnya.

Tak jarang Suad dan perempuan Somalia lain diiming-imingi uang oleh para lelaki, demi menjadi ”teman tidur”. Tapi, sekuat tenaga Suad berupaya menepis dan melawan pemaksaan tersebut.

"Jika aku tidak mengatakan ‘ya’ terhadap ajakan itu, mereka bisa mengalahkanku. Aku lantas bilang bahwa aku adalah Muslimah, aku tak bisa menuruti kemauan mereka. Aku lapar dan ingin uang, tapi aku tak bisa melakukan itu.”

Meski menjadi korban pelecehan seksual, Suad dan perempuan pengungsi Somalia lain selalu menyembunyikan hal tersebut.

Sebab, kalau mereka berkoar mengenai pelecehan itu, Suad dan lainnya justru dicemooh dan dianggap pelacur.

Kejerian hidup Suad bermula di Mogadishu, ibu kota Somalia, tanah kelahirannya. Di sana, keluarganya terbunuh dalam ledakan sebuah bom.

Saud lantas diculik, diperkosa dan ditawan militan pemberontak. Namun, ia bisa melarikan diri ke masjid setempat.

Selama dalam pelariannya, ia mengumpulkan uang untuk membayar sindikat penyelundup manusia, guna keluar dari Somalia.

“Sangat sulit hidup sebagai perempuan korban perkosaan di Somalia. Sebab, kami dituduh sebagai pelacur dan diusir karena dianggap memalukan keluarga dan komunitas. Banyak temanku pergi bersama laki-laki demi menghindari tuduhan itu. Tapi aku tidak mau,” terangnya.

Bak keluar dari mulut buaya tapi masuk ke sarang harimau, begitulah petitih yang tampak pas mengiaskan kisah hidup Suad dari Somalia hingga Indonesia.

Tapi, bagi Suad, sesulit apa pun pilihannya, dia harus tetap hidup.

"Ketika Anda tidak memiliki makanan, maupun tempat berlindung, maka hidup akan menjadi sangat sulit, dan itu adalah satu-satunya pilihan," jelasnya.

Tak Ada Dana

Menurut Badan Pengungsi PBB, sekitar dua per tiga dari 13.800 pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, bergantung pada bantuan atau tinggal di pusat penahanan imigrasi yang dikelola pemerintah, karena tidak diizinkan bekerja atau mengakses jaminan sosial. 

Banyak dari mereka yang terpaksa tidur di jalan, masjid atau mengemis makanan di sekitar pusat penahanan imigrasi yang sudah penuh.

Pilihan paling “mudah” bagi mereka adalah, mengantre bantuan di kantor UNHCR, setiap hari.

Thomas Vargas, Perwakilan UNHCR Indonesia, mengakui lembaganya tengah kesulitan akhir-akhir ini untuk mengurus bantuan pengungsi.

“Krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar dan Bangladesh, membuat dana lembaga kami terserap ke sana. Itu artinya, dana kami di Indonesia dialihkan ke sana,” ungkap Vargas, seperti dilansir News.com.au, Senin (4/2/3018).

 Vargas mengakui, sulitnya mendapat bantuan, membuat perempuan pengungsi di Indonesia terjebak dalam lingaran setan prostitusi.

Australia Tutup Pintu

Vargas menjelaskan, persoalan pelik pengungsi di Indonesia juga disebabkan tak ada negara yang mau menampung dan memberikan suaka kepada mereka.

Indonesia, sejak dulu, menjadi negara transit bagi pencari suaka terutama yang ingin ke Australia. Tapi, negeri Kanguru itu sudah menutup pintunya rapat-rapat untuk para pengungsi.

“Kami, dalam beberapa bulan terakhir, sudah bertemu dengan para pengungsi. Kami berbicara kepada mereka, bahwa mungkin mereka tak akan pernah ditempatkan di negara lain,” jelasnya.

Daniel Webb, juru bicara Human Right Law Centre yang berbasis di Melbourne, mengatakan penderitaan para pengungsi di “depan pintu rumah kami” menunjukkan kekejaman pemerintah Australia.

"Pemerintah kami diam-diam memaksa pengungsi kembali atau lenyap dari muka Bumi. Mereka dipaksa menderita di tempat lain." 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI