Usia Suad belum menginjak kepala tiga puluh. Persisnya, baru berusia 27 tahun. Ia tinggal di jalan sempit di dekat sebuah pusat perbelanjaan Jakarta. Di sana pula ia kerap dilecehkan.
Laki-laki pengungsi Somalia biasanya memaksa Suad maupun perempuan lain untuk pergi bersama demi bisa berhubungan seksual.
Tak hanya pengungsi Somalia, Suad menuturkan pelecehan juga dilakukan orang-orang asing yang berada di Jakarta.
“Ketika kami tidur di jalan, pengusaha Afrika Barat datang. Mereka mengancam kami dan menyentuh kami. Sedangkan kami, tak mampu menghentikan mereka,” tuturnya.
Baca Juga: Wasekjen PPP Minta Prabowo Bongkar Sosok Elite Bermental Maling
Tak jarang Suad dan perempuan Somalia lain diiming-imingi uang oleh para lelaki, demi menjadi ”teman tidur”. Tapi, sekuat tenaga Suad berupaya menepis dan melawan pemaksaan tersebut.
"Jika aku tidak mengatakan ‘ya’ terhadap ajakan itu, mereka bisa mengalahkanku. Aku lantas bilang bahwa aku adalah Muslimah, aku tak bisa menuruti kemauan mereka. Aku lapar dan ingin uang, tapi aku tak bisa melakukan itu.”
Meski menjadi korban pelecehan seksual, Suad dan perempuan pengungsi Somalia lain selalu menyembunyikan hal tersebut.
Sebab, kalau mereka berkoar mengenai pelecehan itu, Suad dan lainnya justru dicemooh dan dianggap pelacur.
Kejerian hidup Suad bermula di Mogadishu, ibu kota Somalia, tanah kelahirannya. Di sana, keluarganya terbunuh dalam ledakan sebuah bom.
Baca Juga: Polisi Setop Kasus Depe Vs Petugas TransJakarta
Saud lantas diculik, diperkosa dan ditawan militan pemberontak. Namun, ia bisa melarikan diri ke masjid setempat.
Selama dalam pelariannya, ia mengumpulkan uang untuk membayar sindikat penyelundup manusia, guna keluar dari Somalia.
“Sangat sulit hidup sebagai perempuan korban perkosaan di Somalia. Sebab, kami dituduh sebagai pelacur dan diusir karena dianggap memalukan keluarga dan komunitas. Banyak temanku pergi bersama laki-laki demi menghindari tuduhan itu. Tapi aku tidak mau,” terangnya.
Bak keluar dari mulut buaya tapi masuk ke sarang harimau, begitulah petitih yang tampak pas mengiaskan kisah hidup Suad dari Somalia hingga Indonesia.
Tapi, bagi Suad, sesulit apa pun pilihannya, dia harus tetap hidup.
"Ketika Anda tidak memiliki makanan, maupun tempat berlindung, maka hidup akan menjadi sangat sulit, dan itu adalah satu-satunya pilihan," jelasnya.
Tak Ada Dana
Menurut Badan Pengungsi PBB, sekitar dua per tiga dari 13.800 pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, bergantung pada bantuan atau tinggal di pusat penahanan imigrasi yang dikelola pemerintah, karena tidak diizinkan bekerja atau mengakses jaminan sosial.
Banyak dari mereka yang terpaksa tidur di jalan, masjid atau mengemis makanan di sekitar pusat penahanan imigrasi yang sudah penuh.
Pilihan paling “mudah” bagi mereka adalah, mengantre bantuan di kantor UNHCR, setiap hari.
Thomas Vargas, Perwakilan UNHCR Indonesia, mengakui lembaganya tengah kesulitan akhir-akhir ini untuk mengurus bantuan pengungsi.
“Krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar dan Bangladesh, membuat dana lembaga kami terserap ke sana. Itu artinya, dana kami di Indonesia dialihkan ke sana,” ungkap Vargas, seperti dilansir News.com.au, Senin (4/2/3018).
Vargas mengakui, sulitnya mendapat bantuan, membuat perempuan pengungsi di Indonesia terjebak dalam lingaran setan prostitusi.
Australia Tutup Pintu
Vargas menjelaskan, persoalan pelik pengungsi di Indonesia juga disebabkan tak ada negara yang mau menampung dan memberikan suaka kepada mereka.
Indonesia, sejak dulu, menjadi negara transit bagi pencari suaka terutama yang ingin ke Australia. Tapi, negeri Kanguru itu sudah menutup pintunya rapat-rapat untuk para pengungsi.
“Kami, dalam beberapa bulan terakhir, sudah bertemu dengan para pengungsi. Kami berbicara kepada mereka, bahwa mungkin mereka tak akan pernah ditempatkan di negara lain,” jelasnya.
Daniel Webb, juru bicara Human Right Law Centre yang berbasis di Melbourne, mengatakan penderitaan para pengungsi di “depan pintu rumah kami” menunjukkan kekejaman pemerintah Australia.
"Pemerintah kami diam-diam memaksa pengungsi kembali atau lenyap dari muka Bumi. Mereka dipaksa menderita di tempat lain."