Suara.com - Gerombolan teroris Al Shabaab memburu mereka ketika masih berada di Somalia. Sindikat perdagangan manusia menyelundupkan mereka ke Indonesia. Kini, di belantara beton Jakarta, mereka bertahan hidup sebagai pelacur.
Nimo, pengungsi asal Somalia, menangis sembari menceritakan hikayat dirinya dan ketiga buah hatinya yang justru semakin berkesusahan di Jakarta.
“Kehidupanku dan tiga anak-anakku justru semakin sulit di Jakarta, daripada di Somalia yang dilanda perang,” tutur Nimo, Senin (2/4/2018)
“Satu-satunya caraku untuk bertahan hidup dan menghidupi tiga anak-anakku adalah menjadi pelacur,” kata Nimo, terisak.
Baca Juga: Wasekjen PPP Minta Prabowo Bongkar Sosok Elite Bermental Maling
Sewaktu usianya belum genap 32 tahun seperti saat ini, Nimo memutuskan membawa lari anak-anaknya dari Somalia demi kehidupan yang lebih baik.
Keputusan itu sulit, tapi harus dilakukannya, setelah gerombolan Al Shabaab merajam—hukuman pidana dilempari batu sampai mati—adik perempuannya.
Oleh sindikat perdagangan manusia, Nimo dan buah hatinya diselundupkan ke luar. Mereka menghabiskan 10 hari perjalanan hingga sampai ke Indonesia.
Sebelum tiba di Indonesia, Nimo ditransitkan di Dubai Uni Emirat Arab, Kuala Lumpur Malaysia, berlayar melintasi Selat Malaka, hingga dititipkan di bus dalam 2 hari perjalanan menuju Jakarta.
Perjalanan panjang sekaligus melelahkan itu, ditempuh Nimo tahun 2015.
Baca Juga: Polisi Setop Kasus Depe Vs Petugas TransJakarta
Sesampainya di Indonesia, Nimo mengajukan permohonan bantuan kepada sejumlah lembaga nirlaba dan Komisioner Tinggi PBB untuk urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees; UNHCR).
Nahas, semua permohonan bantuan yang diajukan Nimo ditolak. Tak ada perlindungan, uang, pekerjaan, tempat tinggal, untuknya dan anak-anak. Nimo limbung.
Sebaliknya, ia hanya diberi kuliah tentang hukum Indonesia dan risiko kesehatan kalau melakukan aktivitas prositusi.
"Tidak ada harapan. Aku punya anak dan aku akhirnya menjadi pelacur. Ini benar-benar kehidupan yang buruk. Ini jauh lebih sulit daripada Somalia," ujarnya.
Persoalan Nimo tak terhenti di situ. Setelah secara sembunyi-sembunyi menjadi pelacur, komunitas pengungsi tempatnya bersosialisasi mengetahui perihal pekerjaannya tersebut.
Nimo lantas diburu oleh komunitas pengungsi Somalia. Sejumlah orang Somalia dari kalangan konservatif juga mengancam membunuhnya.
"Aku ingin berhenti, tapi aku tak punya pilihan. Kalau tidak menjadi pelacur, tak ada makanan untuk anak-anakku,” terangnya.
"Aku tidak pernah membayangkan kehidupan ini sebelumnya, terpaksa menjadi pelacur, dan sering dipukuli laki-laki.”
Kekerasan Seksual
Suad, perempuan pengungsi Somalia yang juga berada di Jakarta, menegaskan dirinya tetap tegar dan memilih untuk tidak melacurkan diri meski hidup kepayahan.
Namun, itu bukan berarti Suad bisa dihormati sebagai perempuan di kalangan komunitas pengungsi maupun “kalangan luar”. Ia justru menjadi objek pelecehan seksual.