Para buruh migran yang pergi tanpa izin dari sponsor mereka, bisa ditangkap dan dipenjara dengan dakwaan "melarikan diri."
“Pada Agustus tahun 2016, sistem kafala membuat puluhan ribu pekerja asing terdampar tanpa gaji dan tidak bisa pulang ke negara asal—saat para pemberi kerja mereka tidak bisa membayar upah karena jatuhnya harga minyak dunia,” demikian catatan HRW.
HRW juga mengatakan, para buruh itu tidak jalan keluar bagi para buruh migran—terutama yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Sebab, jika mereka melaporkan pelanggaran tersebut kepada otoritas setempat, maka pemberi kerja mereka biasanya akan menuntut balik dengan tudingan praktik sihir yang sangat absurd.
Baca Juga: Komentari Prabowo, SBY: Tak Cukup Hanya Teriak 'NKRI Harga Mati'
Ini tentu saja merupakan berita yang buruk karena sebagian besar asisten rumah tangga di Arab Saudi berasal dari Indonesia, dan juga Filipina.
Dunia Internasional Diam
Menurut lembaga Migrant Rights, buruknya catatan perlidungan hak asasi manusia terhadap buruh migran di Arab Saudi kemudian diperparah oleh kecenderungan rasisme di dalam negeri dan diamnya komunitas internasional.
Di dalam negeri, Migrant Care mencontohkan tagar #alturkiparole yang ramai di media sosial Arab Saudi pada pertengahan tahun lalu, sebagai dukungan publik di sana terhadap seorang pria bernama Homaidan Al-Turkis.
Lelaki itu dipenjara di Amerika Serikat karena terbukti menjadikan seorang perempuan asisten rumah tangga asal Indonesia sebagai budak seks selama empat tahun.
Baca Juga: Bom Bunuh Diri Serang Masjid Syiah di Afghanistan, Tiga Tewas
Sementara di level internasional, Washington yang biasanya sangat lantang menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara musuh seperti Iran dan Rusia, hingga kini nampak diam di forum-forum dunia soal Arab Saudi.