Suara.com - Peneliti dari Indonesian Corruption Watch, Emerson Yuntho mengimbau Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri pernyataan dari terdakwa kasus korupsi E-KTP, Setya Novanto terkait penyebutan nama dua politikus PDI Perjuangan, Puan Maharani dan Pramono Anung.
Menurut Emerson, KPK tidak dapat hanya mengandalkan pernyataan Novanto untuk membuktikan apakah Puan dan Pramono benar-benar ikut menerima aliran dana haram itu.
"Itu harus dikonfrontir, jangan hanya menurut Setnov. Mungkin ada lebih baik KPK menelusuri saksi-saksi yang lain. Yang mungkin saja juga menyebut-nyebut nama yang sama," kata Emerson di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3/2018).
Bahkan, kata Emerson, apabila ingin mengetahui kebenaran pernyataan Novanto, Puan dan Pramono sangat mungkin untuk dikonfrontir di dalam persidangan.
"Sangat mungkin juga (Puan dan Pramono dikonfrontir). Misalnya di kasus persidangan Setya Novanto, karena dia kan menyebut bahwa memberikan ke sejumlah pihak, jaksa KPK atau pengacara Setya Novanto bisa meminta hakim untuk memanggil saksi-saksi tersebut," tutur Emerson.
"Apakah relevan atau tidak (Puan dan Pramono dikonfrontir), ini sih tergantung dari hakim," Emerson menambahkan.
Sebelumnya, dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi, Jakarta, Kamis (22/3/2018), mantan Ketua DPR mengatakan ada aliran dana korupsi E-KTP yang mengalir kepada dua orang polisi PDIP, Puan Marani dan Pramono Anung, masing -masing 500 ribu USD.
"Bu Puan Maharani Ketua Fraksi PDI-P dan Pramono adalah 500 ribu USD. Itu keterangan dari Made Oka," kata Novanto.
Puan kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Pembanguan Manusia dan Kebudayaan. Sedang Pramono menjabat sebagai Sekreteris Kabinet Kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.