”Bahkan ada opsi perpanjangan HGU secara otomatis sampai 90 tahun,” terangnya.
”Kami juga mempersoalkan tanah telantar sebagai obyek reforma agraria. Sebab, bagi kami, dengan mempertimbangkan tingkat produktifitas perkebunan besar yang sangat rendah karena minimnya investasi, ditambah penggunaan tenaga kerja berketrampilan rendah (unskilled labour), pengetahuan dan teknologi yang terbelakang, pada dasarnya HGU perkebunan besar jutru sebenarnya adalah tanah terlantar,” ungkapnya.
Sedangkan program ”Perhutanan sosial” yang terus digencarkan oleh Jokowi-JK, hingga memobilisasi berbagai pihak untuk mendukung, bukanlah memberikan akses bagi petani tak bertanah untuk dapat mengelola tanah.
Perhutanan Sosial, pada kenyataanya dijalankan oleh pemerintah Jokowi untuk merampas kembali tanah-tanah yang kekinian sudah di garap dan di kelola oleh kaum tani.
Baca Juga: Linimasa Instagram Kembali Normal
Program itu juga digunakan untuk ”mengikat” petani tak bertanah menjadi tenaga kerja, yakni sebagai penggarap lahan-lahan milik tuan tanah dengan dikenakan swa tanah melalui konsep bagi hasil yang tak menguntungkan.
”Pelaksanaan perhutanan sosial di beberapa tempat juga telah melahirkan konflik horisontal. Itu seperti yang terjadi di Sigi Sulawesi Tengah, dan sampai saat ini hampir tidak ada satu pun kofilik tanah dapat diselesaiakan secara tuntas oleh pemerintah Jokowi,” tuturnya.
Karenanya, atas dasar argumentasi itu, Ali menegaskan AGRA mengeluarkan resolusi menentang program reforma agraria Jokowi-JK.
”Kami juga menyerukan kepada kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia agar terus memperbesar gerakan rakyat, guna memperjuangkan reforma agraria sejati dan Industrialisasi nasional,” tandasnya.
Baca Juga: Facebook Didenda Gara-gara Memperlambat Akses Internet