”Keempat, tidak benar sertifikasi untuk mengatasi konflik agraria. Sebab, tidak ada tanah rakyat yang berkonflik disertifikasi, tetapi banyak sertifikasi tanah rakyat dilakukan sekitar di area rencana pembangunan proyek infrastruktur,” ungkap Ali.
Ali menilai, sertifikasi tanah tanpa merombak pola monopoli kepemilikan tanah justru menjadi petaka bagi kaum petani.
”Program ini akan mempercepat dan memperdalam kaum tani terjerat dalam peribaan yang mencekik. Sebab, sertifikat akan menjadi anggunan petani ke bank. Akhirnya, tanah-tanah mereka akan hilang disita atau terjual, karena tidak dapat menutupi biaya produksi yang tinggi akibat mahalnya biaya produksi pertanian, rendahnya harga produksi petani, dan mahalnya biaya hidup,” bebernya.
Ilusi Perhutanan Sosial
Baca Juga: Linimasa Instagram Kembali Normal
Ali menuturkan, AGRA juga mempersoalkan penggunaan sejumlah istilah yang diklaim sebagai parameter keberhasilan reforma agraria Jokowi-JK.
Salah satu istilah yang dianggap bermasalah adalah, ”redistribusi aset”. Diksi itu digunakan pemerintah untuk merujuk keberhasilan mendistribusikan 262.321 bidang seluas 199.726 ha aset bekas hak guna usaha partikelir dan tanah terlantar.
Sebab, terusnya, redistribusi aset yang dilakukan pemerintah juga hanyalah kata pengganti bagi sertifikasi aset tanah. Itu lantaran tanah-tanah atau aset yang diredistribusikan sebenarnya adalah tanah yang telah lama dikuasai oleh petani.
”Kami juga masih mempersoalkan istilah ’tanah terlantar’ dan ’tanah bekas HGU’ yang menjadi objek reforma agraria Jokowi-JK. Bagi kami itu hanyalah ilusi bagi kaum tani untuk setia menunggu HGU perusahaan habis, dan mereka bisa menguasai tanah,” jelasnya.
Pasalnya, terus Ali, ketika HGU suatu perusahaan yang memonopoli tanah habis, para pebisnis dimudahkan kembali mengurus perpanjangan izin hak tersebut.
Baca Juga: Facebook Didenda Gara-gara Memperlambat Akses Internet