Suara.com - Tangis Setya Novanto pecah pada permulaan sidang kasus perkara korupsi KTP elektronik, Kamis (22/3/2018). Mantan orang nomor satu di Senayan itu akhirnya meminta maaf.
"Yang mulia pertama-tama saya menyampaikan permohonan maaf saya, tulus dari hati saya," tutur Setnov sembari menangis.
Hakim Yanto, ketua majelis hakim perkara rasywah e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, tampak kebingungan melihat Setnov menangis.
"Kalau mau minum dulu, nggak apa-apa, silahkan," kata Yanto menawarkan.
Baca Juga: Sissy Siap Bintangi Milly dan Mamet, Film Sempalan AADC
Setnov menampik tawaran itu. Ia memilih melanjutkan kalimat-kalimatnya meski suaranya semakin parau.
"Saya mohon maaf kepada yang mulia, majelis hakim, kepada pak jaksa, kepada seluruh pengunjung sidang, kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang mana dalam proses persidangan ini ada tingkah laku dan perbuatan saya telah mengganggu proses persidangan ini, baik langsung maupun tidak langsung, mohon dimaafkan," pintanya.
Sewaktu sidang perdana kasusnya, Rabu 13 Desember 2017, Setnov mengaku sakit dan tak bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan majelis hakim. Tapi banyak pihak menilai Setnov kala itu hanya akting.
Namun, sikap Setnov berubah menjadi kooperatif dalam persidangan maupun pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah tanggal 10 Januari 2018.
Persisnya, setelah mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengajukan status sebagai justice collaborator (JC)—pelaku yang bekerja sama mengungkap kasus—kepada KPK.
Baca Juga: Airlangga Hartarto: Jokowi Nyaman Berpasangan dengan Kader Golkar
‘Dua Banteng’
Dalam sidang tersebut, perubahan sikap Setnov tak hanya ditunjukkan dalam tangisan dan permintaan maafnya.
‘Papa Setnov’—begitu sebutan beken yang diberikan warganet kepadanya—juga "bernyanyi" alias menyebutkan sejumlah nama politikus yang menurutnya turut menerima uang hasil patgulipat proyek e-KTP.
Tidak tanggung-tanggung, ia mengungkap bahwa Puan Maharani dan Pramono Anung—dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—ikut menerima uang tersebut saat masih berstatus anggota DPR.
Puan kekinian sudah menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sementara Pramono menjadi Sekretaris Kabinet Presiden Joko Widodo-Wakil Pesiden Jusuf Kalla.
Keduanya disebut Novanto menerima masing-masing sebesar USD500 ribu.
Duit untuk Puan dan Pramono diberikan oleh orang kepercayaan Setnov, Made Oka Masagung. Hal itu diketahui Novanto dari Made dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang menceritakan hal itu seusai berkunjung ke kediamannya.
"Oka menyampaikan dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya 'wah untuk siapa?'. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani USD500 ribu dan Pramono USD500 ribu," ungkapnya.
"Untuk siapa? Ulangi," tanya Hakim Yanto.
"Bu Puan Maharani, waktu itu Ketua Fraksi PDIP dan Pramono adalah 500 ribu dolar AS," jawab Novanto.
Selanjutnya, Setnov menuturkan awalnya hanya mendapat laporan Puan yang kala itu menjabat Ketua Fraksi PDIP menerima duit e-KTP.
Namun, belakangan, dia juga mendengar nama Jafar Hafsah—Ketua Fraksi Partai Demokrat ketika proyek itu bergulir—juga disebut menerima uang.
"Hanya itu saja saya kalau nggak salah Jafar Hafsah. Saya tahu waktu pemeriksaan semalam dengan Irvanto," jelas Novanto.
PDIP Riuh
Pernyataan Setnov itu kontan membuat kubu PDIP gaduh, dan langsung melakukan klarifikasi.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristyanto, Kamis siang, langsung menyebar pesan singkat kepada awak media, mejelaskan duduk perkara menurut pihaknya.
Ia menegaskan, ketika proyek e-KTP dibahas di DPR, partainya kala itu berstatus oposan, sehingga tak mungkin menjadi penentu keputusan serta menerima duit haram tersebut.
"Dalam sejumlah keputusan strategis yang dihasilkan melalui voting, PDIP praktis selalu ‘dikalahkan’. Misalnya penolakan impor beras, penolahan UU Penanaman Moda, dan UU Free Trade Zone, jadi tak mungkin,” kata Hasto melalui pesan tertulis.
PDIP, kata Hasto, kala itu tak memunyai kekuatan politik mumpuni untuk menentukan suatu kebijakan, termasuk soal e-KTP.
Apalagi, sambungnya, PDIP saat itu juga mengajukan konsep e-KTP yang berbeda dari yang direalisasikan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kami saat itu mengusulkan e-KTP bukan pada pendekatan proyek, tapi melalui ‘integrasi data’ antara data pajak, BKKBN, kependudukan dan validasi melalui sistem single identity number (nomor identitas tunggal),” jelasnya.
Sistem tersebut, juga diusulkan diintegrasikan dengan rumah sakit, puskesmas, hingga kepada dokter kandungan dan bidan.
"Dengan demikian pada hari H, dan jam ketika sistem tersebut diberlakukan, maka jika ada bayi yang lahir di wilayah NKRI, maka secara otomatis bayi tersebut akan mendapatkan kartu single identity number tersebut. Itulah konsepsi kami, yang bertolak belakang dengan konsepsi Pemerintah," ujar Hasto.
PDIP meminta Menteri Dalam Negeri yang menjabat saat itu, Gamawan Fauzi memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP.
“Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab pemerintahan tersebut pada awal kampanyenya menjanjikan “katakan tidak pada korupsi”, dan hasilnya, begitu banyak kasus korupsi yang terjadi, tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP," jelasnya.
Sesudah Hasto gencar mengirim pesan singkat klarifikasi, Pramono Anung juga angkat bicara.
Ia menegaskan, saat masih menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PDIP, Pramono mengklaim tidak pernah berhubungan dengan Komisi II dan Badan Anggaran. Dia juga mengakui tidak pernah membahas soal proyek e-KTP selama masih menjadi wakil rakyat.
"Kalau ada orang yang memberi, itu logikanya berkaitan dengan kewenangan jabatan kedudukan. Dan dalam hal ini saya itu nggak pernah ngomong satu kata pun yang berkaitan berurusan dengan e-KTP," ujar Pramono di kompleks Istana Kepresidenan.
Pramono menilai Novanto tidak memiliki bukti yang kuat terkait tudingan peneriman uang.
"Jadi Pak Nov (Novanto) kan selalu katanya, katanya-katanya. Kalau ditanya hakim kan katanya. Tetapi hal yang mengenai dirinya selalu bilang 'saya tidak ingat'," tukasnya.
Pramono mengakui siap dihadirkan dalam persidangan dan dikonfrontasi dengan bekas Ketua DPR itu. Ia mengakui siap dipanggil kapan saja apabila keterangannya dibutuhkan.
"Sebagai pribadi tentunya saya siap dikonfrontasi dengan siapa saja, di mana saja, kapan saja. Monggo-monggo saja. Karena ini sudah menyangkut integritas," tuturnya.
Saat disinggung akan melaporkan Novanto terkait dugaan pencemaran nama baik, Pramono mengatakan akan memunggu dan melihat situasi yang berkembang.
"Saya tunggu bagaimana perkembangan ini. Kalau ini menyangkut integritas saya, saya akan ambil (langkah hukum).”
Sementara Puan Maharani, hingga berita ini diunggah, Jumat (23/3) pagi, masih bungkam.