Suara.com - Pengadilan Tindak pidana Korupsi kembali menggelar sidang lanjutan kasus e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto. Setelah mendengarkan keterangan dari para saksi dan ahli, kini sidang memasuki tahap akhir.
Pada hari ini sidang mengagendakan pemeriksaan terdakwa Setya Novanto. Pada kesempatan ini, Setnov diberikan kesempatan oleh Majelis hakim untuk berbicara dan menyampaikan fakta tentang terjadinya proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
Mantan Ketua DPR RI tersebut juga diberi kesempatan untuk membela dirinya dengan menanggapi semua keterangan para saksi, terutama saksi yang dinilai memberatkan dirinya. Apalagi Setnov sudah mengajukan diri sebagai saksi pelaku (justice collaborator) yang bekerjasama dengan KPK untuk mengungkap pelaku utama dalam proyek yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun tersebut.
Sedianya, Setya Novanto merupakan terdakwa keempat dalam perkara korupsi e-KTP. Setelah sebelumnya dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, serta Pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang telah didakwa dan divonis bersalah oleh majelis hakim.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu dituduh menyalahgunakan kewenangan sebagai anggota DPR dalam proyek pengadaan e-KTP. Perbuatannya Setya Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Dalam dakwaan disebutkan, Novanto disebut menerima aliran dana 7,3 juta dollar AS dan sebuah jam tangan merek Richard Mille tipe RM 011 seharga 135.000 dollar AS.
Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR menyatakan kesiapannya untuk mendukung terlaksananya proyek e-KTP dan memastikan usulan anggaran Rp5,9 triliun disetujui DPR.
Namun, Novanto meminta agar komitmen fee sebesar lima persen bagi dirinya dan anggota DPR lainnya lebih dulu diberikan oleh para pengusaha yang ikut dalam pengadaan proyek e-KTP.
Oleh karena itu, atas perbuatannya Novanto didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar telah melakukan intervensi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penganggaran dan pengadaan barang serta jasa proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Perilaku tersebut bertentangan dengan UU RI Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) juncto Pasal 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN juncto UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.