ULN Membengkak, Indonesia Terancam Jadi Negara Gagal

Rabu, 21 Maret 2018 | 16:59 WIB
ULN Membengkak, Indonesia Terancam Jadi Negara Gagal
peneliti senior INDEF Faisal Basri (berdiri). (suara.com/Arief Apriadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia diprediksi menjadi negara gagal seperti Zimbabwe, Nigeria, atau Sri Lanka, kalau tak mengonversi utang luar negeri menjadi sumber pendanaan sektor produktif.

Prediksi itu diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati dalam diskusi bertajuk “Menggugat Produktivitas Utang” di Kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada grafik utang luar negeri (ULN) Indonesia yang menanjak naik selama tiga tahun terakhir.

Titik tertinggi jumlah utang Indonesia—baik milik pemerintah maupun swasta—hingga kekinian mencapai Rp7.000 triliun.

Baca Juga: Berikut Harga Tiket Bhayangkara FC vs Persija di SUGBK

Utang khusus milik pemerintah pada tahun 2015 mencapai Rp. 3.165 triliun, dan semakin membengkak menjadi Rp4.034,8 triliun pada medio Februari tahun ini.

"Apakah dengan outstanding (posisi utang debitur) ini, rasionya masih cukup aman dan tak bakal terjebak seperti Yunani yang mengalami krisis keuangan akibat membengkaknya jumlah utang namun tak digunakan pada sektor produktif?” kata Enny.

Studi komparatif yang dilakukan INDEF menyebutkan, Zimbabwe, Nigeria dan Sri Lanka menjadi sedikit dari sekian negara yang gagal memanfaatkan ULN menjadi modal menstimulasi pengembangan ekonomi dalam negeri.

Akibatnya, ketiga negara tersebut harus menanggung banyak kebijakan merugikan dari negara pemberi hutang.

Zimbabwe, misalnya, harus merelakan mata uangnya digantikan dengan Yuan, akibat tak mampu membayar utang USD40 juta kepada Tiongkok.

Baca Juga: Indonesia Terancam Menjadi Negara Gagal, Jika Tak Lakukan Ini

Sementara Sri Lanka harus menjual 70 persen saham pelabuhan Hambantota dan merelakan insfrastrukturnya itu diakusisi perusaan milik negara Tiongkok.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI