Suara.com - Pemerintah Provinsi Aceh tengah menjadi sorotan, karena mewacanakan hukuman qisas untuk tindak pidana pembunuhan.
Melalui hukum qisas tersebut, keluarga korban berhak meminta hukuman mati kepada si pembunuh. Hukuman mati itu akan dilakukan melalui cara memancung kepala.
“Tapi itu masih wacana. Kami lebih dulu akan melakukan penelitian melibatkan pihak akademisi,” kata Kepala Bidang Bina Hukum Syariat Islam dan HAM Dinas Syariat Islam Aceh Syukri Bin Muhammad Yusuf, seperti dilansir The Guardian, Kamis (15/3/2018).
Selain melibatkan akademisi, pemprov juga terlebih dulu melihat imbal balik masyarakat. ”Apakah banyak yang mendukung atau tidak, kami lihat dulu,” tuturnya.
Baca Juga: FKUB Bali Beberkan Alasan Pemblokiran Medsos saat Nyepi
Setelah melakukan penelitian, pemprov baru membuat naskah akademik qanun (semacam peraturan daerah) yang mengatur qisas beserta tata cara pemancungan pelaku kejahatan.
“Tahun ini, kami baru merencanakan melakukan penelitian. Wacana ini sendiri adalah permintaan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Januari lalu,” jelasnya.
Ia mengatakan, alasan pemprov mengkaji hukum pancung adalah, maraknya aksi pembunuhan di daerah berjuluk “Serambi Mekah” tersebut dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Menurutnya, aksi pembunuhan itu bisa ditekan kalau pemprov menerapkan hukuman maksimal, yakni qisas.
“Pembunuhan bakal hilang kalau memakai qisas. Seperti di Arab Saudi, hukuman berat terhadap pelaku pembunuhan membuat orang berpikir dua kali kalau ingin melakukannya,” jelasnya.
Baca Juga: Marcus/Kevin Kerja Keras ke Perempat Final All England
Syukri mengkritik, hukuman pidana kepada pelaku pembunuhan dalam hukum nasional maupun qanun Aceh kekinian masih tergolong ringan, yakni pemenjaraan.
Karenanya, Syukri mengklaim pelaku pembunuhan tak jera dan mungkin bakal melakukan hal sama seusai menjalani hukuman penjara.
“Tentu tak serta merta dihukum pancung. Dalam hukum qisas, setiap pelaku bakal diproses dari bawah, yakni mulai penyelidikan, penyidikan, seterus, begitu. Kami berharap, setiap pihak tak duluan menstigma kalau berbicara hukum qisas,” pintanya.
Ditolak Menkumham
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly angkat bicara terkait wacana Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh menerapkan hukum pancung.
Yasonna mengatakan, hukum pancung tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hukuman yang ada dalam KUHP, kata dia, hanya mengenal tembak mati, bukan hukum pancung untuk mengeksekusi terpidana mati.
"Jadi hukum pidana kita masih mengenal ya tembak mati. Soal wacana disana ya nanti kita liat lah gimana hukum nasional kita," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Menurut Yasonna, wacana hukum pancung yang tengah digodok Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh bisa bertentangan dengan UU yang berlaku di tanah air. Apalagi jika dasar hukum untuk melakukan eksekusi hanya qanun.
"UU yang lebih tinggi kan KUHP. Kan dia tingkatnya undang-undang, kalau perda (qanun) kan tidak sampai begitu," jelas Yasonna.
Yasonna menegaskan, qanun tidak bisa digunakan sebagai payung hukum untuk mengeksekusi terpidana mati.
"Tapi itu nanti dilihatlah, bagaimana undang-undang khusus di Aceh. Kalau (aturan untuk mengeksekusi), perda tak bisa. Ada batasan yang dibuat dalam penentuan hukuman dalam perda," tegasnya.
Polisi Menolak
Polisi menilai, wacana hukum pancung untuk menekan angka pembunuhan di Aceh harus dibahas dari aspek hukum negara dan undang-undang terlebih dahulu.
"Karena dalam undang-undang dan hukum kita, hukuman atas suatu tindak kejahatan bukan untuk balas dendam melainkan untuk pembinaan. Makanya kita punya lembaga pemasyarakatan supaya mantan narapidana bisa dikembalikan ke masyarakat," jelas Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia Inspektur Jenderal Setyo Wasisto.
Dia mengingatkan, hukum di Indonesia tidak dimaksudkan untuk membalas kejahatan dengan bentuk kejahatan lain seperti "darah dibalas darah darah dan kepala dibalas kepala" (balas dendam).
Terkait hukum mana yang lebih diterapkan di Aceh, hukum syariah atau hukum nasional, dia enggan berkomentar banyak.
"Tergantung siapa yang menangani. Kalau orang berpacaran misalnya, yang menangkap adalah polisi syariah, bukan polisi nasional. Tapi kalau ada kasus perjudian, itu ditangani oleh polisi nasional," tukas Setyo.